Himpunan Sarjana Bimibingan dan Konseling Indonesia (HSBKI), salah satu dari Divisi dari Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) telah meluncurkan Pedoman dan Panduan Bimbingan dan Konseling yang dalam web hsbki.or.id disebutkan isinya mencakup sebagaimana uraian berikut ini.
PEDOMAN DAN PANDUAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia bersama
masyarakat profesi bimbingan dan konseling Indonesia mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat Dirjen Guru dan
Tenaga Kependidikan Kemdikbud Repuplik Indonesia (Bapak Sumarna
Suryapranata, PhD) beserta jajarannya yang telah memberikan arahan dan
fasilitasi tersusunnya Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di SD, Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di SMP, Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di SMA, dan Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di SMK. Panduan tersebut disusun oleh tim yang terdiri dari
unsur organisasi profesi Bimbingan dan Konseling, akademisi dan praktisi
serta pengambil kebijakan pendidikan dan telah dilakukan uji
keterbacaan. Panduan tersebut merupakan salah satu materi Sosialisasi
Kebijakan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud RI yang
diselenggarakan tanggal 21-23 Desember 2016 di Hotel and Convention Hall
Platinum Balikpapan. Sosialisasi kebijakan dibuka oleh Bapak Sumarna
Suryapranata, PhD (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud
Repuplik Indonesia), dan materi sosialisasi regulasi terkait dengan
bimbingan dan konseling disajikan oleh Muh Farozin (Dosen UNY). Peserta
sosialisasi terdiri dari unsur LPMP, Dinas Pendidikan Provinsi, BKD
Pendidikan, Dewan Pendidikan, Pengawas Sekolah, Kepala sekolah, dan Guru
Sekolah yang merupakan perwakilan dari provinsi Riau, Kepri, Lampung,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Babel,
Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Semoga panduan tersebut menjadikan
bimbingan dan konseling menjadi lebih baik. frz
Klik tautan di bawah ini untuk mengunduh pedoman dan panduan Bimbingan dan Konseling :
Kita harus memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas berbagai upaya yang dilakukan HSBKI dalam rangka menjabarkan secara operasional Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun 2014. Dengan demikian teman-teman konselor di lapangan tidak lagi kebingungan mencari materi yang sesuai dengan Panduan BK di setiap jenjang yang diampunya.
Selamat dan terima kasih kepada HSBKI atas semua kerja kerasnya, selamat berkarya teman-teman konsleor di lapangan.
Tes dan nontes merupakan salah instrument untuk
memahami individu dalam keseluruhan layanan konseling. Masing-masing instrument
tersebut memiliki karakteristik dalam penggunaannya.
Goldman (1971:23) dalam hal ini memandang bahwa
penggunaan tes untuk kepentingan konseling dikelompokkan menjadi dua, yaitu
pertama, untuk kepentingan informasi (for
informational purpose), dan kedua, untuk kepentingan non informasi (for non informational purpose). Lebih
lanjut Goldman menjelaskan bahwa Super (1957) dan Bordin (1955) menetapkan ada
tiga kategori dalam tes untuk informasi yaitu: precounseling diagnostic information (informasi pre konseling untuk
menetapkan diagnostik), information for
counseling process itself (informasi yang digunakan untuk membantu
pelaksanaan konseling itu sendiri)dan information for postcounseling plans and
actions (informasi untuk menetapkan rencana dan tindakan setelah
konseling). Tes untuk kepentingan non informasi terdiri atas: simulating interest in areas not previously
considered (merangsang minat terhadap bidang tertentu yang sebelumnya tidak
ikut dipertimbangkan), laying a
groundwork for later counseling (meletakkan dasar kerja konseling), learning experiences in decision-making
(memperoleh pengalaman belajar membuat keputusan) dan facilitating conversation (penyediaan fasilitas percakapan dalam
konseling).
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
teknik non testing merupakan teknik utama yang harus dikuasai oleh seorang
konselor sekolah. Pada umumnya konselor di sekolah lebih sering memahami
individu dengan teknik non testing. Walaupun ada teknik testing untuk pemahaman
individu, tetapi sebagai tes yang terstandar, validitas dan reliable teruji,
teknik testing sejauh ini baru dapat memahami individu pada aspek inteligensi,
bakat, minat dan kepribadian. Sementara dalam pengumpulan informasi tentang
diri klien, konselor dihadapkan pada kenyataan yang lebih kompleks. Seperti
aspek biofisiologis, biologis, sosial, kepribadian dan nilai-nilai klien yang
dipengaruhi oleh budaya yang dapat menjadi penyebab masalah klien belum dapat
diungkap dengan teknik testing.
Satu hal yang sangat mendasar, apa pun teknik yang
digunakan konselor dalam memahami individu, pada hakekatnya adalah untuk
memperoleh informasi sebagai bahan untuk mengambil keputusan. Hal ini senada
dengan yang ditegaskan oleh Munandir (1996:165) bahwa, informasi adalah segala
sesuatu yang membuat orang menjadi tahu tentang sesuatu. Segala apa yang
berasal dari luar itu masuk ke dalam diri untuk diolah dan disimpan di dalam
sistem ingatan kita, sehingga informasi kemudian menjadi pengetahuan bagi kita
tentang sesuatu. Setelah menjadi pengetahuan bagi kita, informasi merupakan
bahan yang kita hadapi berasal dari dalam dan/atau luar diri kita untuk
mengambil keputusan. Hasil suatu tes dan/atau nontes sebagai bahan informasi
merupakan suatu hal penting dalam mengambil keputusan.
Informasi yang diperoleh konselor merupakan rujukan untuk
membantu klien menentukan pilihan serta merupakan upaya mencari jawaban atas
persoalan “Apa yang harus saya lakukan?” Apabila pilihan itu menyangkut bidang
pendidikan mungkin persoalannya akan banyak berkaitan dengan : “Program studi
manakah yang harus saya pilih sesuai dengan bakat dan minatku?” Demikian pula
jika berkenaan dengan bidang jabatan (karier) mungkin pertanyaan yang muncul berkaitan
dengan : “Jabatan apakah yang sesuai dengan bakat dan minatku?” “Bagaimanakah
saya memperoleh jabatan yang sesuai dengan cita-cita, bakat dan minatku?”
Program studi dan jabatan yang bermacam-macam merupakan bahan informasi bagi
seseorang untuk dipilih. Pilihan seseorang atas informasi yang diperolehnya
merupakan keputusan, dan proses konseling satu di antaranya tidak mungkin
menghindari tahap pembuatan keputusan.
B. TEKNIK TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, pada
umumnya tes yang digunakan untuk memperoleh data klien adalah tes inteligensi,
tes bakat, tes kepribadian (minat, kecenderungan kepribadian), dan tes prestasi
belajar.
Hasil tes akan mempunyai makna sebagai informasi
bagi klien jika tes tersebut dianalisis dan dinterpretasi, dalam arti tidak
hanya berhenti pada penyajian sekor yang diperoleh seorang klien. Untuk
kepentingan konseling, hasil tes dapat digunakan sebelum konseling, pada saat
proses konseling, dan setelah konseling sebagaimana dikatakan oleh Super dan
Bordin (dalam Goldman 1971:23). Pada tahap sebelum konseling hasil informasi
tes digunakan konselor sebagai bahan pertimbangan (a) menentukan jenis layanan
apakah yang akan diberikan konselor kepada klien, (b) untuk menentukan fokus
masalah yang dialami klien, (c) sebagai salah satu bahan diagnosis dari proses
yang berkesinambungan dan dipadukan dengan hasil analisis yang lain ---
misalnya informasi dari teknik non testing : observasi, wawancara, sosiometri,
kuesioner, biografi. Pada tahap proses konseling informasi hasil tes digunakan
untuk menafsirkan prognosis dengan memberikan alternatif-alternatif tindakan
tentang pendekatan, metode, teknik, dan alat mana yang digunakan dalam upaya
membantu pemecahan masalah yang dialami klien. Berdasarkan hasil tes konselor
mendapatkan pelengkap data khususnya mengenai sifat-sifat kepribadian klien
yang selama ini belum dapat terungkap melalui teknik non tes, sehingga
diharapkan hasil informasi tes tersebut dapat membantu kerangka berpikir
konselor di dalam merefleksi perasaan klien. Di samping itu informasi hasil tes
disampaikan kepada klien dengan harapan klien lebih mengenali dirinya sendiri
sehingga klien mampu mengembangkan harapan-harapan yang realistis dalam proses
konseling. Pada tahap akhir konseling informasi hasil tes digunakan untuk
memberikan bantuan dalam membuat keputusan-keputusan dan rencana-rencana untuk
masa depan dengan alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Selain itu
juga merupakan sumbangan yang berarti bagi klien untuk proses perencanaan dan
pilihan tindak lanjut, berkaitan tentang dirinya sendiri dalam hubungannya
dengan fakta sekarang yang ada.
C. TEKNIK NON TES DALAM BIMBINGAN DAN
KONSELING
Konselor pada umumnya memahami dan terampil
menggunakan teknik non tes dalam melakukan pelayanan bimbingan dan konseling.
Teknik non tes dimaksud antara lain observasi, kuesioner, wawancara, inventori
(DCM, AUM, ITP), sosiometri. Konselor sejak kuliah sudah berlatih secara
intensif menyusun dan menggunakan teknik non tes untuk memahami individu dalam
konteks pelayanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut berlanjut sampai mereka
bekerja di lapangan. Sementara di sisi lain keterampilan menggunakan teknik tes
sangat terbatas karena tes terstandar sudah siap pakai, dan penggunaannya terikat
kode etik yang ketat sebagaimana disebutkan dalam Kode Etik Profesi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (PB ABKIN, 2006):
Suatu jenis tes hanya
diberikan oleh konselor yang berwewenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.
Konselor wajib selalu memeriksa dirinya apakah mempunyai wewenang yang
dimaksud.
a.Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas
tentang sifat atau ciri kepribadian subjek untuk kepentingan pelayanan.
b.Konselor wajib memberikan orientasi yang tepat kepada
klien dan orang tua mengenai alasan digunakannya tes disamping arti dan
kegunaannya.
c.Penggunaan suatu jenis tes wajib mengikuti secara ketat
pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes tersebut.
d.Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi
lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain. Dalam hal
ini data hasil testing wajib diperlakukan setara dengan data dan informasi lain
tentang klien.
e.Hasil testing hanya diberitahukan kepada pihak lain
sejauh ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien.
Rambu-rambu tersebut menyebabkan pembelajaran calon
konselor berbeda dengan teman-temannya di program studi Psikologi, yang dalam
batas tertentu mereka memperoleh mata kuliah konstruksi tes. Namun demikian,
karena dalam pembelajaran calon konselor lebih menekankan penguasaan konsep dan
praksis teknik non tes, sudah barang tentu konselor semestinya terampil
menggunakan teknik non tes.
Keterampilan konselor dalam teknik non tes semisal
observasi, kuesioner, wawancara, inventori (DCM, AUM, ITP), sosiometri;
diperoleh mulai dari memahami konsepnya, kekhasan tiap metode, menyusun
instrumen, melakukan pengumpulan data dengan metode tersebut, menganalisis dan
menginterpretasi data, menggunakan hasil praktik teknik non tes untuk pelayanan
bimbingan dan konseling.
Aplikasi instrumentasi teknik non tes oleh konselor
pada umumnya dilakukan secara terpadu, tidak menggunakan metode tunggal. Karena
pada umumnya untuk memahami individu secara utuh: potensinya, masalahnya, dan
kemungkinan pengembangan pribadinya tidak dapat diperoleh dari satu metode
saja. Misalnya observasi tidak menjangkau data latar belakang keluarga yang
lebih tepat diungkap melalui kuesioner, sebaliknya kuesioner tidak bisa
mencatat aktivitas klien “secara on the
spot” ketika mengikuti kegiatan tertentu di sekolah; wawancara bisa lebih
mendalami latar belakang mengapa seorang siswa memilih dan menolak temannya
satu kelas dari pada sekedar alasan memilih dan menolak temannya yang tertulis
dalam angket sosiometri.
D. IMPLEMENTASI TEKNIK
TES DAN NON TES DALAM LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL
Pada suatu
hari konselor SMA Pringgodani Kudus didatangi oleh Arimbi siswa kelas X.3. Arimbi
setelah menerima laporan hasil psikotes ternyata mengalami konflik.
Rekomendasi psikologis yang disarankan untuknya adalah dengan urutan prioritas
jurusan Bahasa, IPS, dan IPA. Ia merasa kecewa karena harapannya tidak sesuai
dengan kenyataan yang digambarkan pada psikotes. Sejak itu ia sering mengalami
konflik batin, mau belajar lebih rajin ataukah biasa saja? Perilaku yang nampak
di kelas antara lain sering bengong, tampangnya kusut, enggan bergaul dengan
teman sekelas, cenderung sering tidak mengerjakan PR jika dibandingkan dengan
sebelum menerima hasil psikotes.
Perilaku Arimbi yang berubah sejak itu, menarik
perhatian para guru mata pelajaran dan wali kelas. Beberapa orang guru dan wali
kelas kemudian menyampaikan kepada konselor tentang perubahan perilaku Arimbi.
Konselor merancang untuk memberikan layanan
konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari beberapa
guru dan wali kelas X.3. Dari pertemuan awal diperoleh gambaran:
(1)Arimbi merupakan tipe anak yang tidak mau
menerima begitu saja apa yang diputuskan baginya. Ia merasa bahwa ia mampu
dalam bidang IPA, IPS dan Bahasa sama baiknya. Tetapi jika ia dijuruskan ke
Bahasa merupakan siksaan baginya. Ia ingin jadi dokter karena ia sering sakit,
tetapi takut dengan dokter. Jika ia menjadi dokter maka ia dapat mengobati
dirinya sendiri. Hasil studi awal konselor terhadap Arimbi atas kasus ini
diperoleh simpulan bahwa di satu sisi Arimbi punya ambisi cukup besar untuk
mewujudkan keinginannya, kemauan belajarnya cukup tinggi, pergaulannya luas
karena sikapnya supel, ia disukai teman-temannya karena senang membantu teman
yang kesulitan antara lain dengan mengajak belajar kelompok; di sisi lain ia
tidak suka jika orang lain memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya,
tidak suka dikritik, mudah kecewa terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginannya. Dinamika psikisnya menghadapi keputusan penjurusan cenderung
negatif, sehingga menimbulkan konflik pada dirinya. Konflik itu muncul karena
ia ingin masuk IPA, tetapi ia diputuskan masuk Bahasa sebagai prioritas I.
(2)Konflik yang dialami oleh Arimbi dirasakan cukup
mengganggu oleh guru-guru, wali kelas, teman sekelas, dan orang tua. Karena
cenderung sering tidak mengerjakan PR, guru-guru mengalami kesulitan untuk
memberikan motivasi anak lainnya sebab Arimbi sering mendorong teman-temannya
untuk mencoba menuliskan hasil PRnya di papan tulis. Teman-teman sekelas
kehilangan sumber informasi dan sumber belajar, karena tidak mau mengerjakan PR
maka Arimbi pun tidak mau membantu temannya menyelsaikan soal-soal PR.
Sementara itu orang tua tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi Arimbi
di rumah yang sekarang lebih banyak nyungsep di kamar, gairah makan
menurun, kehilangan canda rianya bersama adik-adiknya, menghindari berbicara
dengan orang tua.
Konselor memutuskan untuk memberikan layanan
konseling individual kepada Arimbi setelah memperoleh masukan dari guru, wali
kelas, teman, dan orang tua.
Identifikasi
Arimbi berasal dari keluarga yang cukup baik sosial
ekonominya. Suasana keluarga hangat,
demokratis --- terbuka dalam membahas persoalan yang dihadapi oleh anggota
keluarga. Pergaulannya dengan guru, teman sekolah dan di kampung sangat baik.
Hampir semua orang di rumah (tetangganya) maupun di sekolah sangat suka dengan
Arimbi.
Untuk
memperoleh gambaran yang utuh tentang harapan dan cita-citanya, konselor
mempelajari catatan akademiknya pada semester 1 sebagaimana tersaji dalam Tabel
1.
Tabel
1Nilai Arimbi Kelas X.3 Semester 1 Tahun Pelajaran 2010/2011
Komponen
Nilai
A.Mata Pelajaran
1.Pendidikan Agama
8
2.Pendidikan Kewarganegaraan
8
3.BahasaIndonesia
9
4.Bahasa Inggris
9
5.Matematika
8
6.Fisika
7. Biologi
8. Kimia
7
8
7
9. Sejarah
10. Geografi
11. Ekonomi
12. Sosiologi
9
8
8
8
13. Seni Budaya
9
14.Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan
8
15.Teknologi Informasi dan
Komunikasi
16.Keterampilan /Bahasa Asing
9
8
B.Muatan Lokal
17. Bahasa Jawa
7
C.Pengembangan Diri
A
Proses Konseling
Konselor
setelah mempelajar latar belakang Arimbi, memutuskan untuk menggunakan
pendekatan Client-Centered. Pendekatan ini dipilih konselor untuk membantu
memecahkan masalah Arimbi (Gunarsa, 1992:127-128) karena secara spesifik :
(1)Perhatian
diarahkan pada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan
memecahkan suatu masalah tertentu, tetapi membantu seseorang untuk tumbuh,
sehingga ia bisa mengatasi masalah, baik masalah sekarang maupun masalah yang
akan datang dengan cara yang lebih baik. Jika seseorang berhasil mengatasi
masalah dalam suasana yang lebih bebas, lebih bertanggungjawab, berkurang sikap
ragu-ragunya, dengan cara yang lebih teratur, maka pada saat menghadapi masalah
baru ia akan bisa mengatasinya dengan cara yang sama.
(2)Penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi,
dari pada terhadap faktor intelek. Dalam kenyataannya perilaku Arimbi
dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran. Arimbi bisa mengetahui bahwa
perilakunya sebenarnya tidak baik, jadi secara rasional dan intelektual, ia
mengetahui hal itu dan tidak boleh melakukan hal itu, tetapi kenyataannya lain.
Pendekatan ini bekerja langsung terhadap kehidupan emosi dan perasaan yang
nyata daripada berusaha mereroganisasikan faktor emosi melalui pendekatan
intelektual,
(3)Memberi
tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang dari pada terhadap
apa yang sudah lewat. Pola emosi yang diperlihatkan Arimbi sekarang ini sama
saja dengan pola emosi yang sudah ada dalam sejarah pribadinya.
(4)Penekanan
pada hubungan terapetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini
Arimbi belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan sendiri, membuat
keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang
lain secara lebih dewasa.
Mengacu
dari Surya (1988:213) dan Gunarsa (1992:129-131), langkah-langkah yang ditempuh
oleh konselor dalam membantu memecahkan masalah Arimbi adalah sebagai berikut :
(1)Arimbi
datang menemui konselor. Ia mengatakan bahwa ia mendapatkan saran dari guru,
wali kelas, dan teman-temannya untuk minta jasa konseling kepada konselor.
Konselor menciptakan situasi yang bebas dan permisif, sehingga ia memutuskan
untuk melanjutkan konseling.
(2)Situasi
terapetik dimulai. Sejak saat itu Arimbi disadarkan bahwa konselor tidak
mempunyai jawaban, tetapi melalui proses konseling Arimbi akan memperoleh
sesuatu. Arimbi harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Konselor hanya
sebagai fasilitator, sehingga bagaimana Arimbi terselesaikan masalahnya
tergantung pada dirinya sendiri.
(3)Konselor
mendorong Arimbi untuk mengemukakan perasaannya secara bebas berkenaan dengan
hasil psikotes untuk penetapan jurusan. Agar Arimbi dapat mengemukakan
kekecewaannya, konflik batinnya, maka konselor secara wajar memperlihatkan
sikap ramah, bersahabat, dan menerima klien apa adanya (congruence dan
unconditional positive regard).
Arimbi menunjukkan hasil psikotes yang
diperolehnya
Tabel 2 Profil Kecerdasan, Bakat dan Minat Arimbi
No.
Aspek
Kecerdasan dan Bakat
NILAI
KLASIFIKASI
1
Kecerdasan Umum
80
Tinggi
2
Pemahaman Sosial
89
Tinggi
3
Kawasan Pengetahuan
75
Cukup
Tinggi
4
Analogi Verbal
79
Cukup
Tinggi
5
Logika Sosial
70
Cukup
Tinggi
6
Pemahaman Numerik
69
Sedang
7
Logika Numerik
75
Cukup
Tinggi
8
Kemampuan Analogi
80
Tinggi
9
Berpikir Induktif Deduktif
85
Tinggi
10
Persepsi Keruangan
75
Cukup
Tinggi
11
KetepatanPresisi
75
Cukup
Tinggi
Kemungkinan
berhasil
IPA
77
Cukup Tinggi
IPS
78
Cukup
Tinggi
Bahasa
81
Tinggi
No.
Aspek
Minat
Nilai
Klasifikasi
1
Sosial
70
Cukup
Tinggi
2
Bussines
79
Cukup
Tinggi
3
Home Ekonomi
59
Agak
Rendah
4
Secretary
80
Tinggi
5
Medical
69
Sedang
6
Matematika
70
Cukup
Tinggi
7
Fisika
80
Tinggi
8
Biologi
89
Tinggi
9
Teknik
80
Tinggi
10
Kesehatan
90
Tinggi
Sekali
11
Musik
69
Sedang
Kemungkinan
berhasil
IPA
78
Cukup
Tinggi
IPS
72
Cukup
Tinggi
Bahasa
78
Cukup
Tinggi
(4)Konselor
menerima, mengenal dan memahami Arimbi yang menggerutu, cemberut,
menghentak-hentakkan kakinya, pendek kata semua perilaku negatifnya; kemudian
merespon perilaku Arimbi. Konselor tidak perlu mengomentari bahwa sikapnya
sekarang ini tidak benar, tidak sopan, dan sebagainya; tetapi cukup tersenyum
simpul dan menunjukkan kepada Arimbi apa yang ada di balik ungkapan-ungkapan
perasaanya itu, sehingga menimbulkan suasana klien dapat memahami dan menerima
keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu, tidak diproyeksikan kepada orang
lain atau disembunyikan. Misalnya dengan mengatakan: “Anda nampak kecewa
sekali, karena hasil psikotes Anda tidak sesuai dengan harapan dan keinginan
Anda.” Dengan cara semacam itu maka klien tidak akan melakukan defense mechanism.
(5)Ketika
perasaan-perasaan negatif telah diungkapkan sepenuhnya, pada saat itu akan
diikuti oleh ekspresi dari dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut.
Wujud dari kondisi positif adalah pernyataan Arimbi: “Saya kecewa sekali
dijuruskan ke program Bahasa, rasa-rasanya masa depan saya suram. Saya tidak
ingin menjadi sastrawan atau ahli bahasa. Saya hanya ingin menjadi dokter.
Seandainya saya dapat masuk IPA, saya akan lebih tekun mempelajari Fisika,
Kimia dan Biologi.” Hal ini merupakan peluang bagi klien untuk
disembuhkan.
Konselor
menceritakan hasil pengamatan yang dilakukan guru-guru selama Arimbi mengikuti
pelajaran setelah menerima hasil psikotes yang cenderung menurun motivasi
belajarnya, tidak mengerjakan PR dan lebih baik dihukum.
Konselor
juga menceritakan hasil wawancara dengan teman-teman sekelas dan orang tuanya
yang memberikan gambaran serupa dengan hasil observasi guru-guru mata
pelajaran.
Hasil
dokumentasi juga menunjukkan sejak SD, SMP, dan awal di SMA Arimbi sering
memenangi lomba mengarang, membaca puisi, meskipun juga di kelas VI SD menang
lomba mata pelajaran Matematika dan IPA, di kelas VIII SMP juga pernah menang
lomba IPA.
(6)Konselor
memahami dan menerima perasaan-perasaan positif yang diungkap-kan Arimbi
sebagaimana adanya, sama seperti menerima dan memahami ungkapan-ungkapan
perasaan negatif Arimbi. “Anda ingin sekali masuk IPA, karena Anda ingin jadi
dokter.” Perasaan positif tidak diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang
harus dipuji atau seperti layaknya sesuatu permintaan yang harus dipenuhi,
melainkan sebagai sesuatu yang wajar yang ada pada diri pribadi seseorang.
Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar menyadari diri sendiri
sebagaimana keadaan sebenarnya.
(7)Pemahaman,
pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri, adalah langkah berikutnya yang
penting dari keseluruhan proses, yang menjadi dasar pada diri Arimbi untuk
dapat maju ke tingkat yang baru dari integrasinya. Pada saat ini konselor
sebagai fasilitator memimpin klien untuk melihat kenyataan dirinya dengan memahami
dan mendiskusikan hasil psikotes dan nilai raportnya di kelas X semester I,
hasil psikotesnya, dan data-data non tes yang diperoleh konselor.
Biarkan
Arimbi menganalisisnya dan mengomentarinya. “Saya tahu dan saya kecewa sekali
bahwa sekor-sekor saya untuk program IPA lebih jelek dibandingkan dengan sekor-sekor
Bahasa dan IPS sebagaimana hasil psikotes saya. Tetapi saya rasa nilai-nilai
raport saya tidak begitu jelek, paling tidak saya rasa saya dapat mengikuti
pelajaran di kelas XI IPA jika saya masuk ke sana. Tetapi
apakah itu mungkin?”, kata Arimbi. “Kenapa tidak,” kata konselor.
(8)Bersama-sama dengan proses
pemahaman ini adalah proses yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan
atau tindakan yang akan dilakukan Arimbi. Konselor mendengarkan dengan seksama
kata-kata Arimbi: “Saya akan berjuang agar dapat masuk IPA, karena tadi Bapak
mendukung keinginan saya, saya ada peluang masuk IPA jika raport saya pada semester
kedua nilai-nilai IPAnya lebih baik dari semester pertama.” “Apa yang kamu
lakukan untuk itu?”, tanya konselor. “Saya akan belajar sungguh-sungguh, saya
akan ikut les privat untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Bilogi dan Kimia.
Mungkin juga saya harus mengurangi, bahkan kalau perlu meninggalkan kegiatan
saya di OSIS”, jawab Arimbi. “Apakah kamu tidak merasa rugi meninggalkan
kegiatanmu di OSIS?”, tanya konselor. “Saya rasa tidak, karena saya ingin masuk
IPA. Atau saya tetap mengikuti kegiatan OSIS tetapi yang aktivitasnya mengarah
ke IPA seperti KIR”, jawab Arimbi mantap.
(9)Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan tindakan yang nyata, yang
positif, yang tumbuh dari dirinya sendiri. Klien
mencoba memanifestasikan/mengaktualisasikan pilihannya itu dalam sikap dan
tingkah lakunya. “Jika Bapak mengijinkan, demikian pula dengan guru-guru yang
lain dan wali kelas, saya minta dimasukkan ke IPA”, kata Arimbi. “Kenapa tidak,
asal nilai raportmu memenuhi syarat untuk itu”, kata konselor. “Baik Pak, saya akan
berusaha sekuat tenaga”, timpal Arimbi.
(10)Langkah selanjutnya adalah
perkembangan sikap dan perilaku Arimbi sejalan dengan perkembangan tilikan tentang
dirinya. The self Arimbi telah terbentuk melalui
pengalaman-pengalamannya baik yang berasal dari luar maupun yang dari dalam
dirinya. Dari luar adalah pengalaman yang berupa dorongan dari orang lain dan
kemungkinan untuk memenuhi keinginannya, sedangkan dari dalam berupa pengalaman
konflik dan kekecewaan karena keinginannya terhambat tetapi pada akhirnya
terbuka kesempatan untuk mencapainya. Arimbi merasa yakin akan kemampuannya
untuk mengejar waktu yang tersisa dalam memenuhi keinginannya.
(11)Tingkah laku Arimbi makin
bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukannya makin adekuat;
kemandirian dan pengalaman dirinya makin meyakinkan. Ia berkata kepada
konselor: “Saya merasa bahwa jalan yang akan saya tempuh sudah lapang dan
jelas. Saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan, dengan segala resikonya.
Dan tentu saja saya tidak akan kecewa berat seperti sebelum pertemuan ini jika
saya gagal, karena saya sudah berusaha semampu saya. Saya yakin saya bisa jika
saya berusaha keras dan sungguh-sungguh”.
(12)Arimbi merasa bahwa bebannya
suda ditanggalkan dan hubungan konseling harus segera diakhiri. Ia menghentikan
hubungan terapetik dengan konselor. “Saya rasa, saya sudah merasa bebas dari
masalah saya. Saya dapat melihat kenyataan tentang penjurusan saya, dan saya
melihat ada peluang terbuka untuk saya ke jurusan IPA. Saya mengucapkan terima
kasih kepada Bapak yang telah membantu memecahkan masalah saya”.
Konseling
telah selesai. Arimbi telah menjadi individu yang kepribadiannya terintegrasi
dan berdiri sendiri, ia telah bebas dari masalahnya. Konselor dan Arimbi
melakukan kegiatannya masing-masing.
E. AKHIR KATA
Konselor telah melakukan konseling individual dengan
dukungan data yang diperoleh dari teknik tes (tes inteligensi/kecerdasan, bakat
dan minat) dan teknik non tes (observasi, wawancara, dokumentasi nilai raport).
Kedua teknik tersebut telah bersinergi dengan baik untuk membantu klien
memperoleh informasi yang jelas tentang dirinya, memahami dirinya, mengambil
keputusan, dan pada akhirnya mampu memecahkan masalahnya.
Munandir.
1996. Program Bimbingan Karier di Sekolah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
PB ABKIN. 2006.
Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
Indonesia. Bandung: Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia.
Rahardjo,
Susilo. 2007. Pemahaman Individu II Tinjauan
dari Segi Testing. Kudus: Program Studi Bimbingan dan Konsleing Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.
Rahardjo,
Susilo & Gudnanto. 2011. Pemahaman
Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media Enterprise.
Surya, M. (1988). Dasar-Dasar Konseling Pendidikan
(Teori dan Konsep), Yogyakarta : Kota Kembang.
[1]
Makalah disajikan dalam Workshop pada Konvensi ke-17 Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) bekerja sama dengan Universitas Riau di Pekanbaru:
Sabtu-Minggu, 17-18 Desember 2011
[2]
Lektor Kepala Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dipekerjakan pada Program Studi
Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria
Kudus