DATA KUANTITATIF DALAM PENELITIAN KUALITATIF
Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd.
Penelitian adalah
salah satu pilar dari tri dharma perguruan tinggi, baik itu dilakukan dosen
untuk pengembangan karir maupun dilakukan mahasiswa dalam rangka menulis
skripsi sebagai salah satu syarat lulus Sarjana.
Berkaitan dengan
skripsi yang ditulis mahasiswa, sering terjadi mahasiswa mengalami kebingungan
dan kebimbangan karena perbedaan persepsi dan pendapat antara pembimbing yang
satu dengan lainnya. Sementara mahasiswa yang bersangkutan tidak mempunyai
rujukan dan referensi yang dapat dijadikan pegangan untuk berdiri di antara
perbedaan dua orang dosen pembimbingnya. Pada umumnya mahasiswa yang “tidak
tahan” menghadapi perbedaan dosen pembimbingnya skripsinya menjadi terkatung-katung,
tidak segera lulus, karena ia bingung tidak ada dosen pembimbing yang mau
toleransi dan melunak mengikuti salah satu dosen pembimbing lainnya, atau
bagaimana caranya ia mempertemukan perbedaan pendapat kedua dosen
pembimbingnya.
Salah satu kasus
yang perlu penulis angkat di sini adalah kebingungan mahasiswa dalam menyajikan
data, pakai angka ataukah tidak dalam penelitian tindakan yang ia lakukan.
Dosen pembimbing yang satu mengatakan bahwa data penelitian tindakan karena
cenderung kualitatif harus berupa data kualitatif semisal Kurang, Cukup, Baik dan
kemudian dinarasikan agar data tersebut bermakna. Sementara dosen yang kedua
berpendapat bahwa penelitian kualitatif tidak salah menggunakan data
kuantitatif. Justru melalui data kuantitatif, saudara dapat menjelaskan data
tersebut secara kualitatif dengan lebih bermakna, kata dosen pembimbing kedua.
Sebagai contoh,
lanjut dosen pembimbing kedua; saudara meneliti efektivitas suatu layanan
melalui penelitian tindakan. Mulanya saudara memperoleh data awal sekelompok
siswa skor rata-rata 38 (Kurang). Kategori kurang tersebut didasarkan pada
tabel yang ditetapkan peneliti sebagai berikut:
Skor
|
Kategori
|
1 – 20
|
Kurang Sekali
|
21 – 40
|
Kurang
|
41 – 60
|
Cukup
|
61 – 80
|
Baik
|
81 – 100
|
Baik Sekali
|
Setelah diberi
tindakan pada siklus I diperoleh skor 60 (Cukup), kemudian dilanjutkan dengan
siklus II diperoleh skor 62 (Baik). Kalau saudara hanya melihat dari
kategorinya saja, maka penelitian saudara sudah berhasil memuaskan dari Kurang
menjadi Cukup dan kemudian menjadi Baik. Namun, kalau kita melihat asal-usul
kategori tersebut dari skor yang diperoleh, maka saudara pasti tidak akan cepat
puas. Karena perubahan skor dari 38 menjadi 60 selisihnya cukup signifikan
dibandingkan dengan siklus I ke II hanya berubah dari 60 menjadi 62. Data
kuantitatif tersebut berimplikasi langsung dengan simpulan dan pembahasan hasil
penelitian. Sudah barang tentu kalau ada data kuantitatifnya peneliti tidak
semata-mata mengatakan bahwa ia sudah “sukses” dalam melakukan tindakan. Ia
akan hati-hati dan objektif memandang hasil penelitiannya, bahwa kenaikan skor
“cuma” 2 dalam siklus II perlu dicurigai dan diusut, di mana menguapnya skor
yang idealnya paling tidak mendekati siklus I dari data awal.
Mencermati situasi
dan kondisi yang dihadapi mahasiswa, sebagai dosen pembimbing skripsi, penulis
mencoba membantu mencarikan rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah merenung
beberapa waktu sejak mahasiswa yang bersangkutan meninggalkan penulis, penulis
ingat pengalaman ketika membuat tesis dalam bimbingan Prof. Munandir
(almarhum). Pada waktu itu dalam diskusi dengan beliau, beliau menyampaikan
bahwa dalam penelitian kualitatif boleh menggunakan data kuantitatif, tetapi
data kuantitatif misalnya angka dalam tabel, angka dalam papan data murid di
ruang BK dipandang sebagai jembatan untuk melakukan analisis kualitatif. Dalam
bimbingan berikutnya, beliau memberikan kopian buku –yang selanjutnya dikopi
bersama teman sekelas– Riset Kualitatif
Untuk Pendidikan. Pengantar ke Teori dan Metode yang beliau alihbahasakan
dari tulisan Bogdan dan Biklen.
Nah, untuk bekal
mahasiswa dan teman-teman dosen berikut ini saya tulis ulang bagian dari buku
dimaksud yang “membolehkan” dan “memungkinkan” data kuantitatif dalam
penelitian kualitatif dan penelitian tindakan.
DATA
STATISTIK KANTOR/RESMI DAN DATA KUANTITATIF LAINNYA
Waktu menjalankan studi, peneliti
kualitatif acapkali menjumpai data kuantitatif yang telah dikumpulkan orang
lain. Sekolah, sebagaimana pernah kami katakan, menyimpan dan menghasilkan data
yang bukan main banyaknya. Guru memerlukan data apa yang akan disimpannya
sesuai dengan maksudnya. Administrasi mengumpulkan data mengenai susunan ras,
bahasa yang dipakai, kondisi penghambat, berapa banyak kejadian luka atletik, kehadiran
mengikuti pelajaran, suku putus sekolah, nilai hasil belajar,berapa banyak
tindak kekerasan dan anak dikeluarkan dari sekolah, dan sejumlah besar angka
hasil penghitungan-penghitungan lainnya. Kadang-kadang peneliti kualitatif
merasa perlu menghasilkan data numeriknya sendiri. Apa yang dipikirkan dan
dilakukan seorang peneliti kualitatif menghadapi bahan-bahan semacam itu?
Ada penggunaan yang umum data kuantitaif
dalam riset kualitatif. Data itu dapat menunjukkan arah kecenderungan;
umpamanya, apakah jumlah siswa meningkat atau menurun. Data itu juga dapat
memberikan keterangan deskriptif (usia, suku bangsa, jenis kelamin, status
sosioekonomi) mengenal orang-orang yang dilayani oleh sebuah program pendidikan
khusus. Jenis-jenis data tersebut bisa membuka jalan untuk melakukan eksplorasi
dan timbulnya pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Data kuantitatif kerapkali
dimasukkan dalam penulisan kualitatif dalam bentuk statistik deskriptif.
Data statistik dapat juga dipergunakan
untuk menguji gagasan yang anda kembangkan selama penelitian. Anda, misalnya,
bisa mengetahui dari mengamati bahwa sementara para peserta laki-laki dalam
satu program pelatihan kerja mengatakan bahwa pelatihan itu tidak penting di
dalam hidupnya, para peserta perempuan mengatakan bahwa pelatihan itu penting
adanya. Anda barangkali akan memegang “hipotesa kerja” ini dengan
mencocokkannya dengan data resmi tentang kehadiran, dengan asumsi bahwa rekaman
kehadiran ini secara empiris menandakan
keseriusan peserta. Anda mungkin tidak menggunakan catatan kehadiran untuk
membuktikan apa yang telah anda menemukan, tetapi alih-alih untuk menjajagi
implikasi pikiran anda di dalam segi tertentu program itu. Jika data presensi
untuk peserta perempuan ternyata tidak setinggi peserta lelaki, anda barangkali
terpaksa harus menjelaskan hal ini.
Memperhatikan data statistik resmi dan
membandingkannya dengan apa yang dikemukakan subjek secara verbal dapat
digunakan untuk mempelajari persepsi. Sebagai contoh, baru-baru ini seorang
peneliti yang mempelajari implementasi suatu program membaca yang baru
kerapkali mendengar para guru menyebutkan betapa taraf baca murid-murid telah
banyak meningkat sejak diterpakannya program baru tersebut. Ketika peneliti
tadi mempelajari pernyataan tersebut, ia menemukan bahwa taraf membaca di
sekolah tidak naik, guru-guru tidak pernah melihat data mengenai taraf baca
murid. Dukungan antusias guru-guru terhadap program baru terungkap dalam
laporan data mereka, tidak dalam datanya sendiri.
Meskipun data kuantitatif yang dikumpulkan
oleh pihak lain (evaluator, administrator, peneliti lain) dapat dimanfaatkan
secara konvensional seperti yang telah kami uraikan, para peneliti kualitatif mencela
kalau mereka sendiri mengumpulkan data kuantitatif. Bukan karena angka-angka
itu tidak ada nilainya, alih-alih, peneliti kualitatif cenderung memindahkan
proses kompilasi itu di kepalanya dengan jalan menanyakan apa yang dikatakan
angka-angka itu mengenai asumsi orang yang mempergunakan dan mengumpulkannya.
Bukannya mengandalkan data kuantitatif sebagai wahana untuk mendeskripsikan
kenyataan secara cermat, para peneliti kualitatif mempersoalkan bagaimana
enumerasi itu digunakan oleh subjek dalam membentuk kenyataan. Perhatian mereka
tertuju pada bagaimana statistik dapat mengungkapkan akal sehat subjek.
Para peneliti kualitatif teguh berpendirian untuk tidak
memperlakukan data nilai pada permukaannya saja. Mereka meihat proses sosial
yang ada di dalam pengumpulan data berupa angka-angka dan pengaruh kuantifikasi
terhadap bagaimana pikiran dan perbuatan orang sebagai pokok penting untuk
distudi. Perhatian dalam mestudi begaimana diperoleh angka ini hendaknya tidak
dikacaukan dengan studi yang dilakukan oleh para ahli statistik mengenai
bagaimana memperbaiki pencacahan dan estimasi. Ancangan kualitatif terhadap
data kuantitatif pusat perhatiannya adalah pada maksud memahami bagaimana
pencacahan itu terjadi pada kenyataannya, bukan pada bagaimana itu terjadi
seharusnya.
Berikut ini disajikan uraian mengenai
delapan ancangan terhadap data kuantitatif yang mungkin anda jumpai di suatu
sekolah atau organisasi layanan kemanusiaan (Bogdan, 1980) dengan maksud agar
anda mengenali perspektif kaualitatif:
1. Konsep “angka nyata” suatu
penamaan yang salah. Proses kuantifikasi menghasilkan angka
(suku) dan ukuran. Angka dan ukuran itu tidak tampil “alamiah” di dunia. Angka
suku dan hasil pencacahan menggambarkan pandangan yang dipunyai subyek terhadap
orang, obyek, dan peristiwa. Di samping itu, karena subyek itu mengambil sikap
angka terhadap golongan orang, obyek, atau kejadian tertentu tidak berarti
bahwa akan ada kesempatan yang wajar mengenai bagaimana memperoleh angka dan
cacahan itu. Angka tentang tindak kekerasan di sekolah, umpamanya, bergantung
pada bagaimana orang yang mengumpulkan angka-angka itu pada waktu dan tempat
tertentu mengartikan gejalanya dan melakukan pekerjaan itu. Kami tidak berhasil
memperoleh angka tindak kekerasan sampai kami mengembangkan suatu perspektif
terhadap perbuatan-perbuatan khusus yang menurut anggapan dapat dikuantifikasi
atau penting untuk dicacah. (Lihat NIE, 1976 untuk contoh bagaimana berbagai
wilayah sekolah mengartikan kekerasan secara berlain-lainan). Seoranag saintis
sosial, peneliti kebijaksanaan, atau pejabat pemerintah bisa begitu saja
memilih satu cara untuk mencacah dan mengembangkan satu saturan yang akan
menghasilkan metode menghitung “angka nyata”, tetapi apapun yang didapat adalah
produk dan asumsi-asumsi yang digunakan, konsep yang diterapkan, dan proses
yang terus berkembang. Mengaku telah memperoleh “ukuran yang sebenarnya”
merupakan pengakuan untuk keunggulan suatu definisi dan satu metode atas
definisi dan metode lainnya dan hendaknya tidak dikacaukan dengan “kebenaran”
dalam artinya yang mutlak.
Bagaimana
cara-cara orang mendefinisikan dan mengkuantifikasikan hal-hal yang harus
dicacahnya? Faktor-faktor apa yang rupanya mempengaruhi definisi itu dan
cara-cara berlangsungnya? Apakah antara pengumpul-pengumpul data itu ada
variasi mengenai bagaimana bekerjanya? Bagaimana perkembangan pemahaman orang
mengenai apa yang dicacah dan bagaimana mencacahnya?
2. Memisahkan orang, obyek, dan
peristiwa untuk dikuantifikasi merubah maknanya.
Kuantifikasi mempunyai potensi membuat menonjol apa yang semula dianggap
sebagai hal yang sudah semestinya, dan membuat apa yang dulu tidak jelas
bentuknya menjadi kongkret. Umpamanya, keperuan untuk menyimpan statistik
tentang latar belakang bangsa dan suku bangsa bisa meningkatkan perhatian orang
terhadap latar belakang anak-anak, dan juga mengubah pikiran orang tentang
siapa yang termasuk kategori mana. Dalam statistik mengenai anak-anak golongan
minoritas atau yang cacat, banyaknya anak yang luka karena atletik, tindak
kekerasan, atau kasus penggunaan obat perangsang di sekolah mempunyai arti yang
lebih banyak daripada sekedar menggambarkan gejala dalam angka-angka; hal itu
mengubah bagaimana kita mengalaminya.
Apa pengaruh khusus pencacahan
terhadap makna kejadian dan orang-orang?
3. Kuantifikasi berdimensi
sementara. Setiap usaha untuk mengkuantifikasi ada
sejarahnya. Setiap generasi atau diskusi tentang suatu ukuran atau cacahan
sebarang hal terletak pada suatu masa sejarah tertentu. Dengan kata lain,
bilangan tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan konteks sosial
dan sejarah yang melahirkannya. Perubahan dalam angka suku yang dilaporkan
–apakah kehadiran, penggunaan oat penenang, skor prestasi belajar, atau
banyaknya anak yang mengalami kesulitan belajar– tidak mesti berjalan sesuai
dengan perubahan dalam perilaku sebenarnya atau dengan sifat-sifat orang yang dicacah.
Adalah terlalu pagi untuk menarik generalisasi, tetapi pengamatan kami mengenai
pencacahan anak-anak yang menderita ketunaan menunjukkan kepada kami bahwa
makin besar pedulian kami akan suatu gejala tertentu, makin memusat perhatian
kami kepadanya dan akan makin besar angka kami. Dalam pembahasan mereka
mengenai wajib belajar dan meningkatnya retardasi mental. Sarason dan Doris
(1979) menunjukkan bahwa angka suku keterbelakangan mental itu harus dipahami
dalam hubungannya dengan keterbatasan kami yang terus berubah mengenai siapa
yang harus memperoleh pendidikan.
4. Kuantifikasi melibatkan banyak
peserta yang berbeda-beda dan hanya dapat dipahami sebagai gejala multu-aras. Bagaimana suatu isu dipandang di Washington dan bagaimana mereka di
tingkat pusat (nasional) mengerjakan pengukuran mungkin tidak sama dengan
bagaimana hal itu dipikirkan di tingkat daerah atau lokal. Sama juga halnya,
penilik pendidikan mungkin berbeda tafsirannya mengenai suatu petunjuk kerja
dengan kepala sekolah. Tentu saja, masyarakat umum mungkin menerima data dengan
cara yang membingungkan bagi mereka yang menghasilkan data itu. Sebagaimana
dikatakan seorang penulis di satu surat kabar lokal:
Satu anak tidak mesti beraryi
satu anak menurut cara pencacahan Departemen Pendidikan Negara Bagian .... Cara
bagaimana para pendidik mencacah, satu anak dapat berarti separuh anak, anak
seutuhnya, satu seperempat anak, satu empat persepuluh anak atau dalam beberapa
hal, satu anak itu sebenarnya dua anak.
Apa
maksud semula hendak melakukan pencacahan? Bagaimana motivasi dan asal mula itu
dipahami pada berbagai tingkat yang dilalui? Bagaimana orang-orang di berbagai
tingkat yang menerima data memahami makna apa yang diterimanya itu? Bagaimana
kesesuaian hasil itu dengan pemahaman para kolektor mengenai apa yang mereka
lakukan?
5. Baik orang maupun motivasinya
untuk mencacah mempengaruhi makna, proses, dan angka yang dihasilkan. Asumsi ini, meskipun erat kaitannya dengan yang disebut terakhir,
disendirikan untuk menekankan pentingnya peranan yang dimainkan oleh mereka
yang memulakan pencacahan dan sanksi-sanksi yang ada. Umpamamnya, bila dana
pemerintah pusat untuk suatu organisasi dimaksudkan untuk memberikan pelayanan
kepada segolongan orang-orang tertentu, timbul kecenderungan untuk dicapainya angka
suku ini yang tidak bergantung pada perubahan yang sebenarnya terjadi pada
siapa yang memperoleh pelayanan dan apa yang dilakukan. Kalau banyaknya uang
yang dialokasi untuk sebuah sekolah bergantung pada pencacahan, maka pencacahan
akan cenderung bergerak ke tingkat yang paling menjadi perkenan badan yang
mencari dana itu. Makin lama makin banyak pemerintah daerah dan setempat yang
mengembangkan sistem pelaporan yang panjang lebar karena adanya pesanan untuk
menghasilkan angka cacahan. Maka pesanan dan hasilnya ini perlu mendapat kajian
yang saksama.
Hubungan
para pekerja profesional dengan produksi angka merupakan hal sentral sebab
mereka kerapkali yang memulakan pencacahan dan berpengaruh pada angka-angka
yang dihasilkan. Sebuah studi tentang pelayanan terhadap para tuna netra
mengungkapkan bahwa definisi kebutaan menurut hukum yang umumnya dipegang untuk
menghasilkan cacahan anak-anak tuna netra dan yang dijabarkan oleh para
profesional, menghasilkan kategori orang-orang, yang merupakan mayoritas besar
orang yang dapat melihat (Scott, 1969). Kategori diagnostik yang baru, “tidak
mampu belajar”, melukiskan pentingnya untuk mempelajari siapa yang memulakan
pencacahan. Beberapa orang spesialis melaporkan bahwa sampai sejumlah 40 persen
dari semua anak tidak mampu belajar sementara setengah profesional yang tidak
tergabung di dalam bidang spesialiasi itu mengklaim bahwa “ketidakmampuan
belajar” itu diagnosa rekayasa.
Bagaimana
pemahaman orang-orang yang menghasilkan pencacahan itu sebagai akibat dari
perbuatan mereka? Bagaimana pengaruh pendanaan yang dikaitkan dengan
diperolehnya angka tertentu atas pencacahan? Bagaimana pengaruh berbagai
kelompok profesional atas pencacahan? Apa beda hasil pencacahan “awam” dengan
hasil pencacahan profesional?
6. Pencacahan bisa membebaskan
proses sosial pada latar tempat berlangsungnya pencacahan di samping dan di luar
kegiatan yang berkaitan langsung dengan pencacahan itu.
Pencacahan dapat membuat sesuatu dipandang penting dan bermakna, dan
menunjukkan bahwa kegiatan tertentu itu berguna bagi suatu tujuan. Sebagai
contoh, memberikan tes standar pada akhir masa pelajaran bisa mengubah isi
pelajaran dan kegiatan yang dilangsungkan selama setahun. Bagaimana
menghasilkan angka keberhasilan dapat menjadi kegiatan utama lembaga-lembaga
pendidikan.
Bagaimana pencacahan berpengaruh pada
kegiatan wajar yang dilakukan orang pada suatu latar pendidikan? Bagaimana
hubungan antara mengukur keberhasilan dan menjadi berhasil?
7.
Orang-orang yang menghasilkan data pada latar pendidikan terkena proses
sosial dan kekuatan struktural serupa dengan apa yang mengenal kelompok kerja
lainnya. Studi-studi tentang para pekerja pabrik dan
kelompok-kelompok kerja lainnya telah memberikan konsep yang berguna seperti
restriksi kuota , gold bricking,
peningkatan diri sendiri, kooptasi, dan penggantian tujuan untuk menjelaskan
pengaruh proses kekompakan dan kekuatan struktural pada produksi kerja.
Konsep-konsep apa yang dapat menjelaskan produksi data resmi? Beberapa ungkapan
yang sering didengar para pengumpul data termasuk faktor pemanis, permainan angka, pembesut data, dan embel-embel.
Apa arti istilah-istilah tersebut? Proses
sosial dan kekuatan sosial apa yang mendasar yang berpengaruh atas mereka yang
menghasilkan data?
8. Enumerasi dan produk-produknya
mengandung makna efektif fan ritualistik yang kuat di dalam sistem pendidikan
kita. Masyarakat-masyarakat lain, dalam berusaha
menjelaskan kehidupan sehari-hari, mengandalkan sistem agama. Kita mengandalkan
sains, yang lambangnya angka. Mencacah hasil dan menghasilkan angka suku
merupakan sinonim dan menjadi rasional.
Apakah
makna simbolis pencacahan bagi berbagai orang di dalam sistem pendidikan?
Bagaimana angka digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia uar? Bagaimana angka
digunakan secara internal oleh para administrator apa fungsi angka selain dari
yang sudah biasa kita sebutkan?
Kami
tidak menganjurkan pengakhiran pengumpulan data: sistem pendidikan kita bisa
ambruk. Alih-alih, maksud kami adalah hendak menyarankan bahwa kuantifikasi
yang sifatnya menjalar itu dalam organisasi pendidikan kita menuntut kepada
kita agar mempelajari pencacahan dan cabang-cabangnya dari perspektif
kualitatif, sesuatu yang menyebabkan kita berubah dari menganggap hal itu
sebagai yang sudah semestinya ke keperluan untuk mempelajarinya dalam konteks.
Pembahasan mengenai data kuantitatif yang dijumpai selama berlangsungnya studi
dimaksudkan untuk menjadikan anda peka terhadap pandangan kualitatif mengenai
“data keras”.
(Sumber: Bogdan,
Robert C. Dan Biklen, Sari Knopp. 1990. Riset
Kualitatif Untuk Pendidikan. Pengantar ke Teori dan Metode. Alih bahasa
Munandir. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan
Aktivitas Instruksional. Universitas Terbuka: 150-156)
Nah pembaca, para
mahasiswa, rekan sejawat dosen dan seprofesi; apa yang sudah penulis kutipkan
dari sumber yang layak dipercaya sebagaimana diuraikan di atas, menjadi
pencerahan bagi kita dalam berkarya. Perbedaan adalah rahmat Allah yang harus
disyukuri karena keindahan dan kedinamisan perbedaan tersebut. Demikian pun
perbedaan dalam berpendapat, merupakan rahmat dan hidayah yang mendorong kita
melakukan kajian, pencarian, dan otokritik, sehingga pada akhirnya kita
memperoleh kesepahaman –kesepahaman untuk
tidak sepaham, dan/atau tidak sepaham untuk kesepahaman–
Tulisan yang saya
tulis setelah upacara bendera hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-67
diselingi sholat Jum’at, mudah-mudah memberikan berkah bagi kita semua dan dengan cara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya dapat merubah
pandangan kita tentang keberadaan data kuantitatif dalam penelitian kualitatif.
Selamat berpuasa
dan besok kita songsong bersama Idul Fitri 1433 H dengan penuh kemenangan dan
suka cita. Taqoballahu minna wa minkum.
Shiyamanaa wa shiyamakum. Minal ‘aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan
batin.
Kudus, 17 Agustus 2012