Jumat, 17 Agustus 2012

Data Kuantitatif Dalam Penelitian Kualitatif

DATA KUANTITATIF DALAM PENELITIAN KUALITATIF
Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd.

Penelitian adalah salah satu pilar dari tri dharma perguruan tinggi, baik itu dilakukan dosen untuk pengembangan karir maupun dilakukan mahasiswa dalam rangka menulis skripsi sebagai salah satu syarat lulus Sarjana.
Berkaitan dengan skripsi yang ditulis mahasiswa, sering terjadi mahasiswa mengalami kebingungan dan kebimbangan karena perbedaan persepsi dan pendapat antara pembimbing yang satu dengan lainnya. Sementara mahasiswa yang bersangkutan tidak mempunyai rujukan dan referensi yang dapat dijadikan pegangan untuk berdiri di antara perbedaan dua orang dosen pembimbingnya. Pada umumnya mahasiswa yang “tidak tahan” menghadapi perbedaan dosen pembimbingnya skripsinya menjadi terkatung-katung, tidak segera lulus, karena ia bingung tidak ada dosen pembimbing yang mau toleransi dan melunak mengikuti salah satu dosen pembimbing lainnya, atau bagaimana caranya ia mempertemukan perbedaan pendapat kedua dosen pembimbingnya.
Salah satu kasus yang perlu penulis angkat di sini adalah kebingungan mahasiswa dalam menyajikan data, pakai angka ataukah tidak dalam penelitian tindakan yang ia lakukan. Dosen pembimbing yang satu mengatakan bahwa data penelitian tindakan karena cenderung kualitatif harus berupa data kualitatif semisal Kurang, Cukup, Baik dan kemudian dinarasikan agar data tersebut bermakna. Sementara dosen yang kedua berpendapat bahwa penelitian kualitatif tidak salah menggunakan data kuantitatif. Justru melalui data kuantitatif, saudara dapat menjelaskan data tersebut secara kualitatif dengan lebih bermakna, kata dosen pembimbing kedua.
Sebagai contoh, lanjut dosen pembimbing kedua; saudara meneliti efektivitas suatu layanan melalui penelitian tindakan. Mulanya saudara memperoleh data awal sekelompok siswa skor rata-rata 38 (Kurang). Kategori kurang tersebut didasarkan pada tabel yang ditetapkan peneliti sebagai berikut:

Skor
Kategori
1 – 20
Kurang Sekali
21 – 40
Kurang
41 – 60
Cukup
61 – 80
Baik
81 – 100
Baik Sekali

Setelah diberi tindakan pada siklus I diperoleh skor 60 (Cukup), kemudian dilanjutkan dengan siklus II diperoleh skor 62 (Baik). Kalau saudara hanya melihat dari kategorinya saja, maka penelitian saudara sudah berhasil memuaskan dari Kurang menjadi Cukup dan kemudian menjadi Baik. Namun, kalau kita melihat asal-usul kategori tersebut dari skor yang diperoleh, maka saudara pasti tidak akan cepat puas. Karena perubahan skor dari 38 menjadi 60 selisihnya cukup signifikan dibandingkan dengan siklus I ke II hanya berubah dari 60 menjadi 62. Data kuantitatif tersebut berimplikasi langsung dengan simpulan dan pembahasan hasil penelitian. Sudah barang tentu kalau ada data kuantitatifnya peneliti tidak semata-mata mengatakan bahwa ia sudah “sukses” dalam melakukan tindakan. Ia akan hati-hati dan objektif memandang hasil penelitiannya, bahwa kenaikan skor “cuma” 2 dalam siklus II perlu dicurigai dan diusut, di mana menguapnya skor yang idealnya paling tidak mendekati siklus I dari data awal.
Mencermati situasi dan kondisi yang dihadapi mahasiswa, sebagai dosen pembimbing skripsi, penulis mencoba membantu mencarikan rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah merenung beberapa waktu sejak mahasiswa yang bersangkutan meninggalkan penulis, penulis ingat pengalaman ketika membuat tesis dalam bimbingan Prof. Munandir (almarhum). Pada waktu itu dalam diskusi dengan beliau, beliau menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif boleh menggunakan data kuantitatif, tetapi data kuantitatif misalnya angka dalam tabel, angka dalam papan data murid di ruang BK dipandang sebagai jembatan untuk melakukan analisis kualitatif. Dalam bimbingan berikutnya, beliau memberikan kopian buku –yang selanjutnya dikopi bersama teman sekelas– Riset Kualitatif Untuk Pendidikan. Pengantar ke Teori dan Metode yang beliau alihbahasakan dari tulisan  Bogdan dan Biklen.
Nah, untuk bekal mahasiswa dan teman-teman dosen berikut ini saya tulis ulang bagian dari buku dimaksud yang “membolehkan” dan “memungkinkan” data kuantitatif dalam penelitian kualitatif dan penelitian tindakan.


DATA STATISTIK KANTOR/RESMI DAN DATA KUANTITATIF LAINNYA

Waktu menjalankan studi, peneliti kualitatif acapkali menjumpai data kuantitatif yang telah dikumpulkan orang lain. Sekolah, sebagaimana pernah kami katakan, menyimpan dan menghasilkan data yang bukan main banyaknya. Guru memerlukan data apa yang akan disimpannya sesuai dengan maksudnya. Administrasi mengumpulkan data mengenai susunan ras, bahasa yang dipakai, kondisi penghambat, berapa banyak kejadian luka atletik, kehadiran mengikuti pelajaran, suku putus sekolah, nilai hasil belajar,berapa banyak tindak kekerasan dan anak dikeluarkan dari sekolah, dan sejumlah besar angka hasil penghitungan-penghitungan lainnya. Kadang-kadang peneliti kualitatif merasa perlu menghasilkan data numeriknya sendiri. Apa yang dipikirkan dan dilakukan seorang peneliti kualitatif menghadapi bahan-bahan semacam itu?
Ada penggunaan yang umum data kuantitaif dalam riset kualitatif. Data itu dapat menunjukkan arah kecenderungan; umpamanya, apakah jumlah siswa meningkat atau menurun. Data itu juga dapat memberikan keterangan deskriptif (usia, suku bangsa, jenis kelamin, status sosioekonomi) mengenal orang-orang yang dilayani oleh sebuah program pendidikan khusus. Jenis-jenis data tersebut bisa membuka jalan untuk melakukan eksplorasi dan timbulnya pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Data kuantitatif kerapkali dimasukkan dalam penulisan kualitatif dalam bentuk statistik deskriptif.
Data statistik dapat juga dipergunakan untuk menguji gagasan yang anda kembangkan selama penelitian. Anda, misalnya, bisa mengetahui dari mengamati bahwa sementara para peserta laki-laki dalam satu program pelatihan kerja mengatakan bahwa pelatihan itu tidak penting di dalam hidupnya, para peserta perempuan mengatakan bahwa pelatihan itu penting adanya. Anda barangkali akan memegang “hipotesa kerja” ini dengan mencocokkannya dengan data resmi tentang kehadiran, dengan asumsi bahwa rekaman kehadiran  ini secara empiris menandakan keseriusan peserta. Anda mungkin tidak menggunakan catatan kehadiran untuk membuktikan apa yang telah anda menemukan, tetapi alih-alih untuk menjajagi implikasi pikiran anda di dalam segi tertentu program itu. Jika data presensi untuk peserta perempuan ternyata tidak setinggi peserta lelaki, anda barangkali terpaksa harus menjelaskan hal ini.
Memperhatikan data statistik resmi dan membandingkannya dengan apa yang dikemukakan subjek secara verbal dapat digunakan untuk mempelajari persepsi. Sebagai contoh, baru-baru ini seorang peneliti yang mempelajari implementasi suatu program membaca yang baru kerapkali mendengar para guru menyebutkan betapa taraf baca murid-murid telah banyak meningkat sejak diterpakannya program baru tersebut. Ketika peneliti tadi mempelajari pernyataan tersebut, ia menemukan bahwa taraf membaca di sekolah tidak naik, guru-guru tidak pernah melihat data mengenai taraf baca murid. Dukungan antusias guru-guru terhadap program baru terungkap dalam laporan data mereka, tidak dalam datanya sendiri.
Meskipun data kuantitatif yang dikumpulkan oleh pihak lain (evaluator, administrator, peneliti lain) dapat dimanfaatkan secara konvensional seperti yang telah kami uraikan, para peneliti kualitatif mencela kalau mereka sendiri mengumpulkan data kuantitatif. Bukan karena angka-angka itu tidak ada nilainya, alih-alih, peneliti kualitatif cenderung memindahkan proses kompilasi itu di kepalanya dengan jalan menanyakan apa yang dikatakan angka-angka itu mengenai asumsi orang yang mempergunakan dan mengumpulkannya. Bukannya mengandalkan data kuantitatif sebagai wahana untuk mendeskripsikan kenyataan secara cermat, para peneliti kualitatif mempersoalkan bagaimana enumerasi itu digunakan oleh subjek dalam membentuk kenyataan. Perhatian mereka tertuju pada bagaimana statistik dapat mengungkapkan akal sehat subjek.
Para peneliti kualitatif teguh berpendirian untuk tidak memperlakukan data nilai pada permukaannya saja. Mereka meihat proses sosial yang ada di dalam pengumpulan data berupa angka-angka dan pengaruh kuantifikasi terhadap bagaimana pikiran dan perbuatan orang sebagai pokok penting untuk distudi. Perhatian dalam mestudi begaimana diperoleh angka ini hendaknya tidak dikacaukan dengan studi yang dilakukan oleh para ahli statistik mengenai bagaimana memperbaiki pencacahan dan estimasi. Ancangan kualitatif terhadap data kuantitatif pusat perhatiannya adalah pada maksud memahami bagaimana pencacahan itu terjadi pada kenyataannya, bukan pada bagaimana itu terjadi seharusnya.
Berikut ini disajikan uraian mengenai delapan ancangan terhadap data kuantitatif yang mungkin anda jumpai di suatu sekolah atau organisasi layanan kemanusiaan (Bogdan, 1980) dengan maksud agar anda mengenali perspektif kaualitatif:

1.    Konsep “angka nyata” suatu penamaan yang salah. Proses kuantifikasi menghasilkan angka (suku) dan ukuran. Angka dan ukuran itu tidak tampil “alamiah” di dunia. Angka suku dan hasil pencacahan menggambarkan pandangan yang dipunyai subyek terhadap orang, obyek, dan peristiwa. Di samping itu, karena subyek itu mengambil sikap angka terhadap golongan orang, obyek, atau kejadian tertentu tidak berarti bahwa akan ada kesempatan yang wajar mengenai bagaimana memperoleh angka dan cacahan itu. Angka tentang tindak kekerasan di sekolah, umpamanya, bergantung pada bagaimana orang yang mengumpulkan angka-angka itu pada waktu dan tempat tertentu mengartikan gejalanya dan melakukan pekerjaan itu. Kami tidak berhasil memperoleh angka tindak kekerasan sampai kami mengembangkan suatu perspektif terhadap perbuatan-perbuatan khusus yang menurut anggapan dapat dikuantifikasi atau penting untuk dicacah. (Lihat NIE, 1976 untuk contoh bagaimana berbagai wilayah sekolah mengartikan kekerasan secara berlain-lainan). Seoranag saintis sosial, peneliti kebijaksanaan, atau pejabat pemerintah bisa begitu saja memilih satu cara untuk mencacah dan mengembangkan satu saturan yang akan menghasilkan metode menghitung “angka nyata”, tetapi apapun yang didapat adalah produk dan asumsi-asumsi yang digunakan, konsep yang diterapkan, dan proses yang terus berkembang. Mengaku telah memperoleh “ukuran yang sebenarnya” merupakan pengakuan untuk keunggulan suatu definisi dan satu metode atas definisi dan metode lainnya dan hendaknya tidak dikacaukan dengan “kebenaran” dalam artinya yang mutlak.
Bagaimana cara-cara orang mendefinisikan dan mengkuantifikasikan hal-hal yang harus dicacahnya? Faktor-faktor apa yang rupanya mempengaruhi definisi itu dan cara-cara berlangsungnya? Apakah antara pengumpul-pengumpul data itu ada variasi mengenai bagaimana bekerjanya? Bagaimana perkembangan pemahaman orang mengenai apa yang dicacah dan bagaimana mencacahnya?

2.    Memisahkan orang, obyek, dan peristiwa untuk dikuantifikasi merubah maknanya. Kuantifikasi mempunyai potensi membuat menonjol apa yang semula dianggap sebagai hal yang sudah semestinya, dan membuat apa yang dulu tidak jelas bentuknya menjadi kongkret. Umpamanya, keperuan untuk menyimpan statistik tentang latar belakang bangsa dan suku bangsa bisa meningkatkan perhatian orang terhadap latar belakang anak-anak, dan juga mengubah pikiran orang tentang siapa yang termasuk kategori mana. Dalam statistik mengenai anak-anak golongan minoritas atau yang cacat, banyaknya anak yang luka karena atletik, tindak kekerasan, atau kasus penggunaan obat perangsang di sekolah mempunyai arti yang lebih banyak daripada sekedar menggambarkan gejala dalam angka-angka; hal itu mengubah bagaimana kita mengalaminya.
Apa pengaruh khusus pencacahan terhadap makna kejadian dan orang-orang?

3.    Kuantifikasi berdimensi sementara. Setiap usaha untuk mengkuantifikasi ada sejarahnya. Setiap generasi atau diskusi tentang suatu ukuran atau cacahan sebarang hal terletak pada suatu masa sejarah tertentu. Dengan kata lain, bilangan tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan konteks sosial dan sejarah yang melahirkannya. Perubahan dalam angka suku yang dilaporkan –apakah kehadiran, penggunaan oat penenang, skor prestasi belajar, atau banyaknya anak yang mengalami kesulitan belajar– tidak mesti berjalan sesuai dengan perubahan dalam perilaku sebenarnya atau dengan sifat-sifat orang yang dicacah. Adalah terlalu pagi untuk menarik generalisasi, tetapi pengamatan kami mengenai pencacahan anak-anak yang menderita ketunaan menunjukkan kepada kami bahwa makin besar pedulian kami akan suatu gejala tertentu, makin memusat perhatian kami kepadanya dan akan makin besar angka kami. Dalam pembahasan mereka mengenai wajib belajar dan meningkatnya retardasi mental. Sarason dan Doris (1979) menunjukkan bahwa angka suku keterbelakangan mental itu harus dipahami dalam hubungannya dengan keterbatasan kami yang terus berubah mengenai siapa yang harus memperoleh pendidikan.

4.    Kuantifikasi melibatkan banyak peserta yang berbeda-beda dan hanya dapat dipahami sebagai gejala multu-aras. Bagaimana suatu isu dipandang di Washington dan bagaimana mereka di tingkat pusat (nasional) mengerjakan pengukuran mungkin tidak sama dengan bagaimana hal itu dipikirkan di tingkat daerah atau lokal. Sama juga halnya, penilik pendidikan mungkin berbeda tafsirannya mengenai suatu petunjuk kerja dengan kepala sekolah. Tentu saja, masyarakat umum mungkin menerima data dengan cara yang membingungkan bagi mereka yang menghasilkan data itu. Sebagaimana dikatakan seorang penulis di satu surat kabar lokal:


Satu anak tidak mesti beraryi satu anak menurut cara pencacahan Departemen Pendidikan Negara Bagian .... Cara bagaimana para pendidik mencacah, satu anak dapat berarti separuh anak, anak seutuhnya, satu seperempat anak, satu empat persepuluh anak atau dalam beberapa hal, satu anak itu sebenarnya dua anak.

Apa maksud semula hendak melakukan pencacahan? Bagaimana motivasi dan asal mula itu dipahami pada berbagai tingkat yang dilalui? Bagaimana orang-orang di berbagai tingkat yang menerima data memahami makna apa yang diterimanya itu? Bagaimana kesesuaian hasil itu dengan pemahaman para kolektor mengenai apa yang mereka lakukan?

5.    Baik orang maupun motivasinya untuk mencacah mempengaruhi makna, proses, dan angka yang dihasilkan. Asumsi ini, meskipun erat kaitannya dengan yang disebut terakhir, disendirikan untuk menekankan pentingnya peranan yang dimainkan oleh mereka yang memulakan pencacahan dan sanksi-sanksi yang ada. Umpamamnya, bila dana pemerintah pusat untuk suatu organisasi dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada segolongan orang-orang tertentu, timbul kecenderungan untuk dicapainya angka suku ini yang tidak bergantung pada perubahan yang sebenarnya terjadi pada siapa yang memperoleh pelayanan dan apa yang dilakukan. Kalau banyaknya uang yang dialokasi untuk sebuah sekolah bergantung pada pencacahan, maka pencacahan akan cenderung bergerak ke tingkat yang paling menjadi perkenan badan yang mencari dana itu. Makin lama makin banyak pemerintah daerah dan setempat yang mengembangkan sistem pelaporan yang panjang lebar karena adanya pesanan untuk menghasilkan angka cacahan. Maka pesanan dan hasilnya ini perlu mendapat kajian yang saksama.
Hubungan para pekerja profesional dengan produksi angka merupakan hal sentral sebab mereka kerapkali yang memulakan pencacahan dan berpengaruh pada angka-angka yang dihasilkan. Sebuah studi tentang pelayanan terhadap para tuna netra mengungkapkan bahwa definisi kebutaan menurut hukum yang umumnya dipegang untuk menghasilkan cacahan anak-anak tuna netra dan yang dijabarkan oleh para profesional, menghasilkan kategori orang-orang, yang merupakan mayoritas besar orang yang dapat melihat (Scott, 1969). Kategori diagnostik yang baru, “tidak mampu belajar”, melukiskan pentingnya untuk mempelajari siapa yang memulakan pencacahan. Beberapa orang spesialis melaporkan bahwa sampai sejumlah 40 persen dari semua anak tidak mampu belajar sementara setengah profesional yang tidak tergabung di dalam bidang spesialiasi itu mengklaim bahwa “ketidakmampuan belajar” itu diagnosa rekayasa.
Bagaimana pemahaman orang-orang yang menghasilkan pencacahan itu sebagai akibat dari perbuatan mereka? Bagaimana pengaruh pendanaan yang dikaitkan dengan diperolehnya angka tertentu atas pencacahan? Bagaimana pengaruh berbagai kelompok profesional atas pencacahan? Apa beda hasil pencacahan “awam” dengan hasil pencacahan profesional?

6.    Pencacahan bisa membebaskan proses sosial pada latar tempat berlangsungnya pencacahan di samping dan di luar kegiatan yang berkaitan langsung dengan pencacahan itu. Pencacahan dapat membuat sesuatu dipandang penting dan bermakna, dan menunjukkan bahwa kegiatan tertentu itu berguna bagi suatu tujuan. Sebagai contoh, memberikan tes standar pada akhir masa pelajaran bisa mengubah isi pelajaran dan kegiatan yang dilangsungkan selama setahun. Bagaimana menghasilkan angka keberhasilan dapat menjadi kegiatan utama lembaga-lembaga pendidikan.
Bagaimana pencacahan berpengaruh pada kegiatan wajar yang dilakukan orang pada suatu latar pendidikan? Bagaimana hubungan antara mengukur keberhasilan dan menjadi berhasil?

7.    Orang-orang yang menghasilkan data pada latar pendidikan terkena proses sosial dan kekuatan struktural serupa dengan apa yang mengenal kelompok kerja lainnya. Studi-studi tentang para pekerja pabrik dan kelompok-kelompok kerja lainnya telah memberikan konsep yang berguna seperti restriksi kuota , gold bricking, peningkatan diri sendiri, kooptasi, dan penggantian tujuan untuk menjelaskan pengaruh proses kekompakan dan kekuatan struktural pada produksi kerja. Konsep-konsep apa yang dapat menjelaskan produksi data resmi? Beberapa ungkapan yang sering didengar para pengumpul data termasuk faktor pemanis, permainan angka, pembesut data, dan embel-embel.
Apa arti istilah-istilah tersebut? Proses sosial dan kekuatan sosial apa yang mendasar yang berpengaruh atas mereka yang menghasilkan data?

8.    Enumerasi dan produk-produknya mengandung makna efektif fan ritualistik yang kuat di dalam sistem pendidikan kita. Masyarakat-masyarakat lain, dalam berusaha menjelaskan kehidupan sehari-hari, mengandalkan sistem agama. Kita mengandalkan sains, yang lambangnya angka. Mencacah hasil dan menghasilkan angka suku merupakan sinonim dan menjadi rasional.
Apakah makna simbolis pencacahan bagi berbagai orang di dalam sistem pendidikan? Bagaimana angka digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia uar? Bagaimana angka digunakan secara internal oleh para administrator apa fungsi angka selain dari yang sudah biasa kita sebutkan?

Kami tidak menganjurkan pengakhiran pengumpulan data: sistem pendidikan kita bisa ambruk. Alih-alih, maksud kami adalah hendak menyarankan bahwa kuantifikasi yang sifatnya menjalar itu dalam organisasi pendidikan kita menuntut kepada kita agar mempelajari pencacahan dan cabang-cabangnya dari perspektif kualitatif, sesuatu yang menyebabkan kita berubah dari menganggap hal itu sebagai yang sudah semestinya ke keperluan untuk mempelajarinya dalam konteks. Pembahasan mengenai data kuantitatif yang dijumpai selama berlangsungnya studi dimaksudkan untuk menjadikan anda peka terhadap pandangan kualitatif mengenai “data keras”.

(Sumber: Bogdan, Robert C. Dan Biklen, Sari Knopp. 1990. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan. Pengantar ke Teori dan Metode. Alih bahasa Munandir. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional. Universitas Terbuka: 150-156)

Nah pembaca, para mahasiswa, rekan sejawat dosen dan seprofesi; apa yang sudah penulis kutipkan dari sumber yang layak dipercaya sebagaimana diuraikan di atas, menjadi pencerahan bagi kita dalam berkarya. Perbedaan adalah rahmat Allah yang harus disyukuri karena keindahan dan kedinamisan perbedaan tersebut. Demikian pun perbedaan dalam berpendapat, merupakan rahmat dan hidayah yang mendorong kita melakukan kajian, pencarian, dan otokritik, sehingga pada akhirnya kita memperoleh kesepahaman –kesepahaman untuk tidak sepaham, dan/atau tidak sepaham untuk kesepahaman
Tulisan yang saya tulis setelah upacara bendera hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-67 diselingi sholat Jum’at, mudah-mudah memberikan berkah bagi kita semua dan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya  dapat merubah pandangan kita tentang keberadaan data kuantitatif dalam penelitian kualitatif.
Selamat berpuasa dan besok kita songsong bersama Idul Fitri 1433 H dengan penuh kemenangan dan suka cita. Taqoballahu minna wa minkum. Shiyamanaa wa shiyamakum. Minal ‘aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.


Kudus, 17 Agustus 2012