MEMAHAMI
INDIVIDU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Pendahuluan
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah tindakan yang
sifat dan arahnya menuju kepada kondisi lebih baik yang membahagiakan bagi
pihak yang dilayani (konseli). Dengan kata lain, orang yang sedang dilayani
memiliki prospek untuk menjadi lebih baik, lebih bahagia.
Bimbingan dan konseling merupakan profesi yang tidak
netral; pelaksanaannya tidak murni bersifat teknis. Ada
muatan nilai, artinya dalam menjalankan tugas profesionalnya
konselor mesti mempertimbangkan faktor nilai demi keefektifan
layanan bantuannya itu. Faktor tersebut tidak saja menyangkut konseli tetapi
juga konselor, bahkan menyangkut pihak yang lebih
luas, yaitu masyarakat yang melatarbelakangi keduanya.
Peayanan bimbingan dan konseling sering disebut bantuan
psikologis, yang berarti bahwa pelaksanaan teknik-teknik bantuan untuk
pengembangan insani itu didasarkan pada konsep-konsep,
kaidah-kaidah, azas-azas, dan prosedur-prosedur psikologi. Pada latar
sekolah, pelaksanaan bimbingan dan konseling mengandung banyak segi
yang menyangkut siswa/konseli selaku pihak utama, yaitu yang menjadi pusat
perhatian dan sasaran bantuan, di samping konselor selaku pihak
"pemberi bantuan". Segi-segi itu tidak saja bersifat psikologis
tetapi juga sosiologis dan kultural
(Munandir, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut, di sini penulis hendak membahas
perkembangan bimbingan dan konseling selaku profesi, faktor budaya dalam
pelaksanaan tugas profesi itu, dan penerapan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat.
Oleh karena itu memahami konseli wajib hukumnya bagi
seorang konselor sebelum, pada saat, dan sesudah proses pelayanan berlangsung.
Memahami konseli bukan sekedar nama dan identitas lainnya, tetapi dalam arti
yang luas adalah memahami seluruh latar belakang konseli termasuk budayanya.
B. Perkembangan Profesi Bimbingan dan
Konseling
Menurut Munandir (1995), selaku profesi, bimbingan
dan konseling di Indonesia lahir di tengah-tengah profesi lain yang lebih
mapan, .... untuk ukuran Indonesia, misalnya profesi kedokteran, guru.
Pada
awalnya bimbingan dan konseling di Indonesia berkembang di sekolah. Hal ini
berbeda dengan di Amerika Serikat yang justru berkembang di masyarakat, baru
kemudian berkembang di lingkungan pendidikan sekolah. Di Indonesia sebelum
adanya layanan bimbingan yang khusus, diasumsikan bahwa tugas bantuan kepada
siswa yang mengalami masalah ini dirangkap oleh guru. Dengan makin beratnya
beban tugas mengajar guru, guru tidak lagi bisa diharapkan mampu menangani
semua urusan pendidikan, maka layanan khusus yang bertujuan memajukan
kesejahteraan jiwa siswa menjadi kebutuhan mendesak. Inilah latar belakang
kehadiran bimbingan dan konseling pada latar sekolah.
Bimbingan dan konseling di Amerika yang dirintis oleh Frank
Parson pada tahun 1908 dengan mendirikan sebuah biro di Boston, hampir
bersamaan waktunya Jesse B. Davis menjadi school counselor di Central
High School di Detroit, Ellie Weaver di New York dan John Brewer di Harvard
University. Sesuai dengan zaman itu, yakni dimulainya gerakan bimbingan
vokasional di Amerika, konsep bimbingan pada waktu itu lebih ditekankan pada vocational
guidance sebagai sarana untuk suksesnya penyaluran jabatan, sifatnya lebih
ke arah distributif dan determinatif.
Sejak itu bimbingan dan konseling berkembang pesat di
Amerika, dan pada akhir tahun 1950-an masuk ke Indonesia. Abdulkahar (1978)
menjelaskan, bahwa bimbingan dan konseling yang teratur dan teroganisir dimulai
pada tahun 1958 di SMA Teladan Yogyakarta yang dipimpin oleh Drs. Tohari
Musnamar. Ketika diadakan rapat kerja antara SMA-SMA Teladan seluruh Indonesia
di Solo yang diselenggarakan oleh Urusan Pendidikan SMA PD dan K pada tanggal
6-13 Nopember 1961, bimbingan diterima dengan baik dan ditetapkan pada
tiap-tiap SMA Teladan di Indonesia harus menyelenggarakan seksi khusus BP yang
pada waktu itu Urusan Pendidikan SMA PD dan K dipimpin oleh M. Hutauruk, SH.
SMA-SMA Teladan sebagai percontohan “bimbingan dan penyuluhan” yang
selanjutnya disebut bimbingan dan
konseling itu ialah: SMA-B Medan, SMA-B Jakarta, SMA-C Surabaya, SMA-A
Yogyakarta, dan kemudian ditambah beberapa SMA Teladan di kota yang lain misalnya
di Kediri, di Malang, dan lain-lain.
Karena perkembangan dan kebutuhan bimbingan dan konseling
sangat dibutuhkan oleh sekolah, maka kemudian dibuka jurusan “bimbingan dan
penyuluhan” di sejumlah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ---dalam
tahun 1960-an masih merupakan bagian dari universitas--- dengan tujuan mendidik
tenaga bimbingan (konselor sekolah). Waktu itu, sampai awal 1960-an, FKIP
bersifat umum, hanya mendidik calon guru bidang studi, program pendidikan baru
sampai jenjang sarjana muda, yang tiga tahun lamanya.
Dunia pendidikan di Indonesia mengalami perubahan besar sejak
pertengahan dasa warsa 60-an. Karena tuntutan pembangunan, juga karena
perubahan masyarakat yang terjadi seiring dengan pembangunan itu, maka
dilakukan usaha-usaha untuk menyerasikan pendidikan sesuai dengan keadaan dan
perkembangan yang terjadi. Dalam rangka ini pada paruh pertama dasa warsa 70-an
didirikan delapan “Sekolah Pembangunan”, yang disebut PPSP (Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan) dan delapan “STMP” (STM Pembangunan). Sekolah-sekolah lain
berjalan menurut sistem yang berlaku seperti biasanya, tetapi dengan kurikulum
baru yaitu kurikulum 1975. Inilah untuk pertama kali bimbingan, atau lengkapnya
bimbingan dan konseling ditetapkan secara resmi sebagai bagian dari sistem
kurikulum sekolah, dari jenjang TK/SD sampai dengan SLTA, baik jenis sekolah
umum maupun sekolah kejuruan. Namun, bagaimana perkembangan sekolah pembangunan
---dan sistem pendidikan pembangunan--- tersebut selanjutnya tidak bisa
dikatakan secara pasti. Tetapi yang nyata, PPSP dan STMP, tidak kelihatan
berjalan dan tidak disebut-sebut lagi dalam dasa warsa 80-an.
Seiring dengan pembaharuan kurikulum, dilakukan usaha-usaha
peninjauan sistem pendidikan guru. Dalam rangka PPSPTK (Proyek Pengembangan Sistem
Pendidikan Tenaga Kependidikan) tersusunlah kurikulum baru ---Kurikulum
Landasan Kompetensi--- dan berlaku untuk IKIP/LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan) secara rasional dalam tahun 1982. Termasuk yang ditinjau dan
diperbarui adalah Kurikulum Pendidikan Konselor. Di dalam sistem pendidikan
guru/tenaga pendidikan tersebut, dinyatakan pula bahwa bimbingan dan konseling
merupakan salah satu unsur kompetensi dasar keguruan. Demikianlah sehingga
mahasiswa LPTK semua jurusan/program studi mempelajari bimbingan dan konseling
sebagai mata kuliah wajib (MKDK).
Peristiwa penting lain dalam sejarah perkembangan pendidikan
dan bimbingan di Indonesia adalah berdirinya sebuah organisasi profesi
bimbingan bernama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang tahun
1975 (Panitia Konvensi Nasional Bimbingan ke-1 tanggal 17 Desember1975).
Berturut-turut setelah itu berdiri anak-anak organisasi (Divisi IPBI), yaitu
IPKON (Ikatan Pendidik Konselor Indonesia di Malang tahun 1991), IGPI (Ikatan
Guru Pembimbing Indonesia di Jakarta tahun 1992), ISKIN (Ikatan Sarjana
Konseling Indonesia di Semarang tahun 1992), dan IDPI (Ikatan Dosen Pembimbing
Indonesia di Solo tahun 1994) dengan program-program kegiatannya antara lain,
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan profesional (Konvensi, Seminar, Lokakarya)
dan organisasi yang bertujuan memajukan bimbingan dan konsleing sebagai ilmu
dan profesi. IPBI dan divisi-divisinya juga terlibat di dalam penyusunan
kurikulum program bimbingan di LPTK.
Salah satu sumbangan penting IPBI di dunia pendidikan adalah
ikut membantu keluarnya SK Menpan Nomor 84/1993 sebagai SK Menpan Nomor 26/1989
tentang status kepegawaian tenaga bimbingan. Dengan SK 84/1993 pekerjaan guru
pembimbing ---istilah birokrasi untuk konselor sekolah--- ditegaskan sebagai
pekerjaan yang terpisah dari pekerjaan guru mata pelajaran, guru kelas, dan
guru praktek. Menurut peraturan sebelumnya, uraian tugas bimbingan dan
pengajaran menjadi satu, sehingga menimbulkan kekaburan pengertian dan
kerancuan pelaksanaannya di sekolah-sekolah.
Kurikulum 1975 (dan Kurikulum 1976 untuk Sekolah Menengah
Teknologi-Kejuruan) diikuti dengan berlakunya Kurikulum 1984 dan terakhir
Kurikulum 1994. Di dalam kurikulum-kurikulum itu bimbingan selalu disebut
merupakan bagian dari sistem kurikulum. Di dalam kurikulum 1984 bimbingan
mendapat wataknya yang khusus, yaitu bimbingan karier, khususnya untuk SMA dan
sekolah kejuruan. Dengan pergantian-pergantian kurikulum, dan dengan
ketentuan-ketentuan birokrasi berupa SK Menpan yang disebut di atas, serta
peraturan-peraturan perundang-undangan, khususnya PP Nomor 27, 28, 29 dan 30
tahun 1990, maka kedudukan bimbingan sebagai bentuk layanan bantuan bagi
kesejahteraan siswa makin mantap, di semua jenis dan jenjang sekolah, dari
jenjang Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi.
Dengan
adanya perundang-undangan dan peratauran-peraturan pemerintah tersebut di atas,
dimulailah periode Bimbingan dan Konseling Pola 17 (BK Pola 17) yang disebarkan
melalui para konselor dari seluruh Indonesia yang diundang untuk mengikuti
pelatihan nasional di Parung Bogor. Melalui konselor inilah –yang kemudian
ditugaskan sebagai instruktur BK di Propinsi dan kabupaten– bimbingan dan
konseling semakin eksis karena berada dalam satu kaidah yang terpola mulai dari
wawasan ke-BK-an, bidang pelayanan BK, jenis layanan, dan kegiatan pendukung
pelayanan BK.
Dengan
diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli
bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah
satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu)
orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun
hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan jumlah lulusan yang
sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan
jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling mulai tahun
akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah air juga tidak mudah
untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing sekolah
menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling setelah dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut
Guru Pembimbing.
Dalam
pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan profesionalitas
anggotanya antara lain mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan
kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Bandarlampung Ikatan Pertugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN).
Pada
tahun 2003 diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat
(6), akan tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya.
Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama pendidik pada perguruan tinggi”, meskipun tugas “melakukan
pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu,
jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat secara sepihak
ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang
Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh karena itu, upaya dan kerja
keras ABKIN sebagai organisasi profesi pada akhirnya membuahkan hasil dengan
usulannya yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Inodnesia Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK).
Peraturan Menteri tersebut di atas mengokohkan
posisi konselor di sekolah karena tugas
konselor sangat jelas yaitu berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan
mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan
pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli
kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling.
Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam
jalur pendidikan formal dan nonformal.
Dalam pada itu
makin jelas pula kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan nonformal (Departemen Pendidikan
Nasional. 2008) adalah:
1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan
Konseling.
2. Berpendidikan profesi konselor.
Hal ini mengandung implikasi bahwa selain Sarjana S-1
Bimbingan dan Konseling tidak memiliki kewenangan untuk menjadi konselor di
sekolah yang terikat dengan 17 kompetensi konselor yang meliputi kompetensi
paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional; di mana sarjana lain tidak memiliki kompetensi tersebut.
C. Faktor Budaya
Dalam Pelaksanaan Tugas Profesi
Bimbingan dan Konseling
1. Budaya Nasional
Budaya tidak diberi pembatasan sepenuhnya sama bagi
para ahli ilmu sosial. Agaknya, terdapat variasi-variasi maknanya bergantung
pada cabang ilmu sosial asal pembatasan itu dirumuskan.
Kluckhohn, (1962, dalam Rosyidan , 1995) membuat
batasan budaya sebagai berikut :
Budaya terdiri dari
berbagai pola tingkah-laku, eksplisit dan implisit, dan pola
tingkah-laku itu diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan
karya khusus kelompok-kelompok manusia, termasuk
penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari
ide-ide tradisional, terutama nilai-nilai yang melekatknya; sistem
budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil
perbuatan, pada sisi lain, sebagai pengaruh
yang menentukan perbuatan-perbuatan selanjutnya.
Bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu,
mengandung dua hal pokok, yaitu yang berangkutan dengan konsep
dan implementasi konsep. Selama ini, baik pada tingkat konsep
maupun pada tingkat implementasi bimbingan dan konseling yang kita lakukan pada
dasarnya banyak menggunakan hasil pikiran dunia Barat, tempat bimbingan
dan konseling formal mulai tumbuh, sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Sudah barang tentu, buah pikiran yang dihasilkan
itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial,
ekonomi, dan corak budaya atau nilai-nilai masyarakat Barat. Dengan kata
lain, bimbingan dan konseling sebagai ilmu mengandung muatan nilai-nilai budaya
tertentu.
Indonesia, sebagai negara dan bangsa, mempunyai corak
budaya dengan nilai-nilai yang bersifat universal dan yang bersifat
unik. Universal artinya nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh segenap manusia, nilai-nilai budaya unik
ialah nilai-nilai yang khas bagi kelompok manusia –atau bangsa
Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan
nilai-nilai budaya yang majemuk pula, yang selanjutnya setelah
bangsa Indonesia merdeka, berbagai
nilai-nilai majemuk itu telah diintisarikan menjadi
nilai-nilai budaya nasional, yang menjadi pandangan hidup
bangsa, yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila sebagai pegangan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kegiatan
pendidikan, termasuk kegiatan bimbingan dan konseling
di Indonesia, dapat dimasukkan ke dalam kehidupan
bernegara, yaitu kegiatan yang bertujuan tidak hanya untuk
mengembangkan potensi individu yang optimal sesuai dengan minat,
irama, dan kemampuan masing-masing tetapi juga bertujuan
untuk pengembangan daya manusia Indonesia yang bermutu tinggi dan
pembentukan warga negara yang tahu dan
menyadari segala hak dan kewajiban dalam negara kesatuan
Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi mengembangkan
bimbingan dan konseling di Indonesia hendaknya memasukkan unsur-unsur budaya
nasional ke dalam konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling.
2. Budaya Daerah
Kebudayaan nasional sebagaimana diuraikan di
atas, terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena
itu hendaklah dipandang dengan
wawasan integralistik atau secara keseluruhan. Yang
dimaksud dengan integralistik adalah menjadikan semua
kebudayaan daerah sebagai suatu kesatuan pandangan. Harapan
itu didukung oleh kenyataan bahwa semua kebudayaan daerah
memberikan sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional; serta mempunyai
potensi untuk berkembang sendiri. Lain dari
pada itu terdapat pula suatu asas yang menyatakan bahwa kebudayaan
nasional itu pada hakekatnya adalah puncak-puncak kebudayaan
daerah. Dengan demikian dalam lingkup yang lebih
sempit, kebudayaan daerah ini pun harus dipertimbangkan dalam
menyusun konsep-konsep dan praktek pelayanan bimbingan dan konseling di
lapangan. Sebab lingkungan daerah yang berbeda, mempunyai
nilai-nilai yang berbeda dengan lingkungan daerah yang lain.
Barnadib (1995) misalnya,
mengilustrasikan budaya Jawa dalam bimbingan dan konseling. Dengan
mengutip pendapat Sujamto, dikatakan bahwa orang Jawa itu dalam
religiusitas mempunyai tanda yang disebut momot.
Yang dimaksud tidak lain adalah sifat akomodatif,
yaitu semangat yang mau mengakui dan menghayati kebenaran sejati
dari manapun sumbernya. Berhubung dengan adanya semangat keagamaan ini,
pemahaman tentang keagamaan lebih masuk ke dalam hati dari pada ke dalam
rasio. Sesama manusia dipandang ada kesamaan batin, maka, antar
sesama saling mencari kesejukan lahir dan batin. Berhubung dengan itu pula
pergaulan antar sesama diusahakan agar terhindar dari
pendekatan-pendekatan yang bersifat doktriner
atau dogmatis.
Sifat kedamaian itu juga diusahakan berlangsung
bila terjadi proses mempengaruhi orang lain, yang diibaratkan
sebagai memancing ikan hingga berhasil tetapi diusahakan agar
airnya tidak keruh (kena
iwake nanging ora buthek banyune). Dengan demikian kedua
belah pihak merasa enak dalam saling memberi dan saling menerima.
Berhubung dalam pergaulan perlu diusahakan
kedamaian dan terhindar dari suasana tegang,
lebih-lebih sampai terjadi kekerasan, maka semua fihak diharapkan
memahami dan melaksanakan falsafah Jawa yang penulis kutip
dari berbagai sumber, sebagai referensi dalam berkomunikasi
dengan orang lain (bimbingan dan konseling pada hakekatnya adalah
kegiatan berkomunikasi dengan orang lain), yaitu sebagai berikut :
1)
tanggap
ing sasmita,
yaitu mengetahui dan mengerti adanya isyarat-isyarat
2)
tumeka
ing rasane,
yaitu sampai kepada kesadaran batin tentang boleh
tidaknya, wajar, sopan atau tidaknya, untuk dilaksanakan
3)
ewuh
pakewuh, yaitu
sikap untuk mempertimbangkan dan berpikir secara matang dan mendalam apakah
perbuatan yang akan dilakukannya itu dapat berkenan bagi orang
lain.
4)
lamun
sira banter aja nglancangi, lamun sira landhep aja natoni, lamun
sira mandi aja mateni, yaitu sikap pengendalian diri agar
seseorang yang mempunyai kelebihan tidak menggunakan kelebihannya itu
menyengsarakan orang lain. Tepatnya, jika kamu cepat jangan
mendahuli, jika kamu tajam jangan melukai, jika kamu sakti
jangan membunuh.
Dalam budaya daerah lain juga dikenal adanya
nilai dan falsafah kehidupan sebagai pedoman hidup
masyarakat setempat, dan konselor diharapkan dapat menyerap nilai dan
falsafah itu dalam melaksanakan layanan bimbingan
dan konseling.
3. Sifat Kodrat Manusia
Konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling
secara implisit bertolak dari pandangan mengenai sifat
kodrat manusia. Pada umumnya, pendekatan-pendekatan
konseling secara eksplisit mulai kajiannya dengan asumsi-asumsi
mengenai sifat kodrat manusia, disusun konsep-konsep dasar bimbingan dan
konseling lainnya.
Budaya nasional kita mempunyai
pandangan mengenai sifat kodrat manusia, yaitu kodrat manusia
sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi, dan sekaligus makhluk sosial. Makhluk
manusia itu bersifat homogen (selaku pribadi saja) –tetapi bersifat heterogen,
dia selaku pribadi mandiri, tetapi sekaligus
selaku anggota keluarganya, anggota kelompok sosialnya, anggota
kelompok acuannya, dan anggota kelompok lainnya, dan selaku hamba Tuhan.
Keberadaan dirinya selalu bersama dengan keberadaan orang lain. Hak azasi dan
kewajiban azasi, kebebasan dan tanggung jawab tidak dapat
masing-masing berdiri dengan absolut, justru sifat absolutnya terletak
pada keberadaan dirinya bersama dengan orang-orang lain.
Menurut ajaran Pancasila, agar bangsa Indonesia
mewujudkan nilai dasar itu maka dituntut bagi setiap individu mengembangkan sikap
pengendalian diri, yaitu mewujudkan azas keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara dirinya dengan orang lain, antara hak
azasi dan kewajiban azasinya, antara kebebasan dan
tanggung jawabnya. Azas keselarasan, keserasian
dan keseimbangan ini tidak menunjuk pada satu titik yang tetap atau
statis, tetapi azas ini selalu menunjuk kepada titik posisi dalam kondisi
berubah atau dinamis.
4.
Konseling Lintas Budaya
Di depan sudah kita memahami
apa itu bimbingan dan konseling, di mana pada akhir-akhir ini ada kecenderungan
untuk menyebutnya sebagai konseling. Penggantian istilah bimbingan menjadi
konseling sebenarnya sudah diusulkan oleh Belkin (1975, dalam Wibowo, 2002) di
Amerika dengan istilah konseling praktis,
yaitu proses konsleing yang menyeluruh,
yang didasarkan atas filsafat dan kesadaran diri-sendiri yang mantap, yang
dilaksanakan dengan keterlibatan penuh teerhadap keseluruhan perkembangan
individu, yang meliputi wawancara tatap muka, kegiatan dalam suasana kelompok,
pelayanan sekolah, program pengatasan masalah, kegiatan ekstra-kurikuler,
pemberian informasi dan jabatan, dan kegiatan serta pelayanan lain yang
menunjang perkembangan dan pemenuhan kebutuhan individu sebagai orang yang
mampu berdiri sendiri. Namun demikian, di sekolah masih digunakan istilah
bimbingan dan konseling. Dalam hal ini penulis cenderung tidak membedakan
antara keduanya, pengertian konseling di dalamnya sudah mencakup bimbingan.
Munandir (2001)
menjelaskan bahwa, konseling yang dijalankan di Indonesia, termasuk di latar
sekolah, pelaksanaannya didasarkan pada teori-teori psikologi dan konseling Barat,
khususnya Amerika. Di sekolah, para konselor, yang pada umumnya lulusan lembaga
pendidikan tenaga keguruan, mendapati bahwa teori-teori konseling yang
dipelajarinya waktu dalam pendidikan prajabatan tidak cocok diterapkan begitu
saja di lapangan; mereka mengalami hambatan bahkan masalah dalam tugas
profesionalnya. Ketidakcocokan dalam penerapan ini dapat dipahami karena isi
kurikulum inti pendidikan konsleor dapat dikata sepenuhnya adalah teori-teori
yang dikembangkan pada latar Barat/Amerika sedangkan latar penerapannya adalah
kebudayaan kita, kebudayaan Timur.
Kebudayaan kita pun
bukan merupakan suatu yang tunggal melainkan majemuk. Indonesia yang terdiri
dari ribuan pulau dengan penduduknya masing-masing yang menunjukkan adanya
keberagaman kemasyarakatan dan kebudayaan. Masyarakat kita yang mempunyai nilai
dan kebudayaan yang berbeda dengan Barat, bisa menjadi kendala dalam
pelaksanaan konseling. Nilai-nilai yang menyangkut hal-hal seperti hormat
kepada orang tua dan menyangkut hidup kekerabatan dan kekeluargaan, tabu, seks,
keterbukaan atau pengungkapan diri (self-disclosure),
adalah beberapa contoh mengenai perbedaan tajam budaya Timur-Barat. Masalah
lain adalah bahwa di zaman informasi global ini batas-batas antarnegara, dan
Timur-Barat, ini tidak nyata lagi.
Layanan konseling,
menurut sifat hakikat dan landasan keilmuannya, adalah bantuan psikologis.
Hakikat lain konsleing, yaitu ia sebagai layanan kemanusiaan, menjadikannya
layanan yang sarat dengan muatan budaya. Di tempat asalnya yaitu Amerika, sudah
sejak lama diketahui bahwa para konselor kulit putih mengalami kesulitan dalam
memberikan pelayanan kepada orang kulit hitam, demikian pula dengan kelompok
minoritas tertentu. Di sinilah diperlukannya konseling lintas budaya atau konseling
multi budaya, ialah proses bantuan kemanusiaan pribadi yang memperhatikan
bekerjanya factor budaya dan bagaimana bekerjanya faktor budaya ini untuk
kelancaran proses bantuan dan untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuannya,
yaitu memajukan perkembangan kepribadian individu (Munandir, 2001).
Konseling lintas budaya
(cross-culture counseling) mempunyai
arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam
latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et
all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011).
Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah
memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Oleh karena itu setiap
konselor hendaknya memahami hal ini, sehingga dalam melakukan layanan konseling
memperhatikan latar belakang budaya klien yang kemungkinan besar berbeda dengan
budaya konselor.
D. Penerapan
Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Yang Sesuai dengan
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Dari pengertian di atas,
maka konseling lintas budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai
perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai
nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul
karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling
lintas budaya dapat terjadi jika, sekedar contoh, konselor kulit putih
memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Jawa
memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Pasundan.
Layanan konseling
lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa
yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas budaya dapat pula muncul pada
suatu suku bangsa yang sama, dan masyarakat yang sama. Sebagai contoh, konselor
yang berasal dari Kudus memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari Kudus pula, mereka sama-sama berasal dari suku atau etnis Jawa. Tetapi
perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar dalam berbagai hal antara orang Jawa
Kudus yang berasal dari Kota dengan orang Jawa Kudus yang berasal dari Dawe,
Undaan, Jekulo dan kecamatan lain. Mungkin konselor berasal dari Jawa Kudus
Kota budaya masyarakatnya berbeda dengan klien yang berasal dari Jawa Kudus
Dawe, Undaan, dan Jekulo; demikian pula sebaliknya.
Dari contoh di atas,
terlihat bahwa orang Jawa Kudus Kota dan Jawa Kudus Dawe, Undaan, dan Jekulo itu
sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat menjadi
permasalahan tersendiri dalam proses konseling. Karena masing-masing individu
merupakan representasi dari masyarakatnya. Di Kota sendiri konselor yang
berhadapan dengan klien yang berasal dari etnis Cina dan Arab, yang merupakan
etnis minoritas di Kota berbeda budayanya dengan konselor, bahkan sesama orang
Jawa di Kota konselor dan klien pun berbeda pula budayanya.
Dalam praktik
sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang
social budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya
(Prayitno, 1994). Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan,
saling mencurigai, atau perasaan-perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling
mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya
sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha
untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini
dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan
untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai
pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan
sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr,
1939 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011). Hal ini disebabkan setiap
konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai
pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap
manusia adalah berbeda (individual
deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada
definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling
tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang
berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor
dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan
klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien
seutuhnya ini berarti konselor harus dapat memahami budaya spesifik yang
mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara
umum/universal (Speight, 1991 dalam Soedarmadji, 2011).
Memahami budaya spesifik
mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya
yang melekat pada diri klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dengan
lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien tentu membawa
budayanya sendiri-sendiri. Klien yang berasal dari budaya Barat, tentu akan
berbeda dengan klien yang berbudaya Timur. Klien yang berbudaya Timur Jauh
berbeda dengan klien yang berasal dari Asia Tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai
budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak terjadi dengan mudah. Untuk hal
ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai sumber yang menunjang seperti
literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut
untuk dapat bertindak secara proaktif di dalam usahanya memahami budaya klien.
Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering
“turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk
dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di
dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lonner & Ibrahim,1991
sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011).
Memahami keunikan klien
mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan
membawa nilai-nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya. Klien selain
membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga
membawa seperangkat nilai-nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai
individu yang unik, maka klien dapat menentukan sendiri nilai-nilai yang hendak
dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai-nilai yang diyakini oleh klien ini.
bertolak belakang dengan nilai-nilai atau budaya yang selama ini dikembang-kan
di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang
dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara
universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai-nilai
ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat
umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan
merdeka. Nilai-nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini dapat
kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian,
sampai dengan di kota-kota besar seperti Kualalumpur, California, Medan, dan
Jakarta.
Konselor perlu
menyadari adanya nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan
nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya semestinya membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan
atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan
konseling.
Sebagai rangkuman dari
apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen
(1981) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1.
Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2.
Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3.
Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut
Pederson, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991 sebagaimana dikutip oleh
Soedarmadji, 2011) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas
budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar
belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah
yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi
hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang
tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan
konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses
konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti membawa
budayanya sendiri-sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa
dari lingkup di mana dia berasal, dan klien membawa superangkat budaya yang
dibawa dari lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat)
di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh
dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing-masing.
Dan kita ketahui bersama bahwa masing-masing tugas perkembangan yang dibawa
oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor membawa tugas perkembangannya
sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia membawa tugas
perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor
lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah
a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, b)
variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel
etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980;
Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991;
Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991 sebagaimana dikutip oleh
Soedarmadji, 2011).
E. Simpulan dan Rekomendasi
Dari uraian makalah
ini, penulis merumuskan simpulan-simpulan sebagai berikut:
1. Konseling
merupakan bantuan yang bersifat psikologis, sosiologis dan kultural agar orang
yang dilayani menjadi lebih baik, lebih bahagia.
2. Profesi
bimbingan dan konseling yang awalnya berkembang di Amerika, kemudian berkembang
di Indonesia di latar sekolah yang mengalami pasang surut berkaiatan dengan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemerintah yang melandasi
pelaksanaannya di sekolah
3. Budaya
menjadi salah satu faktor penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
4. Konselor
perlu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip perbedaan budaya dalam
melaksanakan hubungan profesionalnya dengan klien.
Berkaitan dengan
simpulan tersebut, penulis merekomendasikan yang dirumuskan dalam butir-butir:
1. Setiap
konselor harus memahami budaya klien yang hendak dilayani melalui kajian
pustaka dan on the spot
2. Pemahaman
atas budaya klien harus dilaksanakan dalam proses konseling sehingga setiap
klien diperlakukan sesuai dengan kondisinya yang berbeda-beda latar budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkahar.
1978. Pokok-pokok Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Guidance & Counseling).
Yogyakarta: Swadaya.
Barnadib,
Imam. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangannya Bagi Bimbingan dan
Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) tanggal 14 s/d 16 Desember 1995.
Surabaya : Panitia Kongres dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor.
Tersedia di http://www.scribd.com/doc/8695600/
STANDAR-KUALIFIKASI-AKADEMIK-DAN-KOMPETENSI-KONSELOR. diunduh 4 Januari 2009
Ifdil.
2009. Kompetensi Lintas Budaya dan
Tujuannya. Tersedia on line http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=98.
Diunduh 7 Mei 2012.
Munandir.
1995. Konseling Lintas-Budaya dan Peranan Bimbingan Dalam Transformasi
Budaya. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) tanggal 14 s/d 16 Desember 1995.
Surabaya : Panitia Kongres dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia.
Pederson,
Paul B. (ed). 1981. Counseling across Cultures. University Press of
Hawaii
Rahardjo,
Susilo. 2000. Pendidikan Budi Pekerti (Dalam Lingkup Budaya Jawa).
Makalah disampaikan dalam rangka Sosialisasi Akreditasi Program Studi Bimbingan
dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus tanggal 21 Agustus 2000. Kudus :
FKIP Universitas Muria Kudus.
Rosyidan.
1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Dengan Budaya Nasional : Rintisan.
Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) tanggal 14 s/d 16 Desember 1995. Surabaya : Panitia
Kongres dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia.
Saman,
Abdul. t.th. Konseling Lintas Budaya
(Suatu Tinjauan Psikologi Konseling). Tersedia on line di http://www.ppiukm.org/arsip/sc_conf/abstrak/Abdul%20
Saman.pdf.
Diunduh 7 Mei 2012.
Sudrajat,
Ahmad. 2008. Kilas Balik Profesi Konselor
di Indonesia. Tersedia on line di http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/12/28/kilas-balik-profesi-konselor-di-indonesia/.
Diunduh 11 Mei 2012.
Soedarmadji,
Boy. 2011. Konseling Lintas Budaya. Tersedia
on line di http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=241&Itemid=98.
Diunduh 7 Mei 2012.
Suharmawan,
Wahid (Adm). 2010. Konseling Lintas
Budaya. Tersedia on line di http://konselorindonesia.blogspot.com/2010/11/konseling-lintas-budaya_29.html.
diunduh 7 Mei 2012.
Wardhani,
Fera Kesuma. 2012. Konseling Lintas
Budaya. Tersedia on line di http://ferakesuma.blogdetik.com/2012/01/21/konseling-lintas-budaya/.
Diunduh 7 Mei 2012.
Wibowo,
Mungin Eddy. 2002. Konseling
Perkembangan: Paradigma Baru dan Relevansinya di Indonesia. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling pada
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 13 Juli 2002. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
[1]
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Perspektif Konseling Dalam Bingkai Budaya” diselenggarakan dalam raangka
Dies Natalis Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muria Kudus: Sabtu, 19 Mei 2012
[2]
Lektor Kepala Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dipekerjakan pada Program Studi
Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria
Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar