TERAPI KONSELING PERILAKU
Susilo
Rahardjo, Aswotono, Itos Budi Santoso
Pengantar
Terapi konseling perilaku atau behavior therapy dalam materi yang disajikan di sini merupakan
karya bersama Susilo Rahardjo, Aswotono dan Itos Budi Santoso pada saat
mengikuti kuliah S2 Program Studi Bimbingan Konseling Program Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang.
Materi
ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling
Kelompok yang diampu Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.
Terima
kasih kepada teman-teman saya, Aswotono dan Itos, mohon perkenan anda berdua
karya bersama ini saya up load di blog saya, dengan harapan bisa memberikan
sesuatu kepada sejawat seprofesi yang membutuhkannya.
1.
Latar
Belakang Pendekatan Perilaku
Terapi perilaku (behavior
therapy) dan pengubahan perilaku (behavior
modification) atau pendekatan perilaku dalam konseling dan psikoterapi,
adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi,
khususnya konseling dan psikoterapi (Gunarsa, 1992:191). Revolusi-revolusi yang
lain adalah psikoanalisis dan pendekatan berpusat pada klien. Pendekatan
perilaku dianggap sebagai salah satu wujud revolusi dalam konseling dan
psikoterapi karena ia mengembangkan teori dan praktik terapi yang khas, yaitu
memandang tingkah laku manusia dipandang sebagai respon-respon terhadap stimuli
--- tingkah laku merupakan hasil belajar, bukan determinan sebagaimana
pandangan psikoanalisis---, eksternal dan internal, dan karena itu tujuan
konseling adalah sedapat mungkin untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode
stimulus-respon (S-R), jadi analog dengan psikologi eksperimental.
Pendekatan perilaku yang bersumber pada aliran
Behaviorisme pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal
ekstrim, yaitu John Broadus Watson. Pendekatan ini menitikberatkan peranan
lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang
dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang
sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan”.
Peranan lingkungan dijelaskan oleh Watson sebagai patently rejected the emphasis on heredity in explaining human
characteristics and instead placed it all on environment. He even boasted that,
if he were given ten healthy infants and allowed complete control over their
environments, he could make any on of them a baker, banker, thief, carpenter,
you name it (Reilly & Lewis 1983:98). Dengan demikian pendekatan ini
memandang manusia sebagai organisme yang neutral-passive,
lingkungan dan perlakuanlah yang dapat merubah tingkah laku seseorang. Ulmann
dan Krasner (1965) menunjukkan banyak bukti tentang keefektifan pendekatan
perilaku dengan menghimpun berbagai tulisan para ahli pendekatan perilaku dalam
buku Case Studies in Behavior
Modification.
Sejarah pendekatan perilaku dalam konseling atau
konseling behavioral (Rosyidan, 1994:4-6) bermula pada Ivan Sechenov
(1829-1905), bapak fisiologi Rusia. Struktur hipotetiknya dikembangkan sekitar
1863, yang memandang fungsi-fungsi otak sebagai pancaran refleks, yang
mempunyai tiga komponen: input sensorik, proses, dan “efferent-outflow”. Menurut Sechenov, semua tingkah laku terdiri
atas respon-respon kepada stimulasi-stimulasi, dengan interaksi-interaksi dari
rangsangan dan hambatan yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran
refleks. Dengan menggunakan model ini, Pavlov (1849-1936) memulai serangkaian
eksperimen klasik di mana respon-respon air liur pada anjing dirangsang dengan
berbagai stimuli. Pada eksperimen ini ia mendemonstrasikan banyak fenomena yang
kemudian diperluas kepada semua tipe belajar. Penterjemahan karya Pavlov ke
dalam bahasa Inggris tahun 1927 mendorong pengambilalihan pendekatan
behavioristik dalam mempelajari psikologi di Amerika Serikat, dan kemudian
dikenal sebagai kondisional klasik (classical
conditioning). Implikasi teori Pavlov dalam konseling adalah perilaku
konseli dapat dilatih dengan menggunakan koneksi antara stimulus dengan respon,
perilaku yang tidak dikehendaki dilatih menjadi perilaku yang dikehendaki.
Hasil-hasil penelitian dan tulisan E.L. Thorndike (Gunarsa,
1992:192) mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hukum efek (law of effect) pada tahun 1898, 1911,
1913 juga memberikan sumbangan penting dalam pendekatan perilaku. Teori
Thorndike tersebut selanjutnya dikenal sebagai kondisioning aktif (operant conditioning) dan perilaku
instrumental. Implikasinya dalam konseling adalah dengan melakukan hukum efek,
perilaku konseli yang tidak dikehendaki berubah menjadi perilaku yang
dikehendaki.
Studi yang paling penting dalam psikologi dilakukan oleh
Watson dan Rayner (1920), yang menggunakan seorang anak sebagai subjek untuk
menunjukkan bahwa rasa takut itu dipelajari (conditioned). Penurunan dari saran-saran Watson dan Rayner menjadi
teknik-teknik inti dalam konseling behavioral.
Penggunaan istilah behavioral
counseling pertama kali dikemukakan Krumboltz dari Stanford University
(1964). Pada dekade 50-an konseling dialami sebagai filsafat hidup yang
menekankan pada segi hubungan dan setting wawancara. Konseling kurang
memperhatikan metodologi ilmiah seperti observasi dan eksperimen. Hubungan
konselor dan klien dipandang sebagai metode konseling atau hatinya konseling. Terapi behavioral telah menemukan
perubahan-perubahan yang penting dan telah banyak berkembang. Terapi ini tidak
lagi secara eksklusif berpijak pada teori belajar, dan juga bukan perangkat
teknik yang didefinisikan secara sempit. Terapi behavioral kontemporer mencakup
berbagai konseptualisasi, metode penelitian, dan prosedur penanganan untuk
menjelaskan dan mengubah perilaku, dan juga perdebatan yang cukup seru tentang
bukti adanya hasil yang diinginkan (Kadzin & Wilson, 1978 dalam Corey,
1995:413). Lazarus dianggap sebagai salah satu perintis dari terapi behavioral
klinis. Oleh karena itu ia telah memberikan sumbangan dalam hal memperluas
dasar konseptualnya dan memperkenalkan teknik klinis yang inovatif.
2.
Konsep-konsep
Dasar Pendekatan Perilaku
Rosyidan (1994:-6-7) dan Natawidjaja (1987:192-196)
nampaknya sepakat tentang konsep-konsep pokok atau konsep dasar dalam
pendekatan perilaku itu, yaitu pemusatan pada perilaku yang tampak dan khusus,
tujuan terapetik yang tepat, perumusan rancangan kegiatan dan penerapan
metoda-metoda yang berorientasi tindakan, penilaian objektif terhadap hasil dan
balikan.
Keempat konsep dasar dalam pendekatan perilaku,
dipaparkan dalam uraian berikut ini.
2.1.
Pemusatan pada Perilaku yang Tampak dan Khusus
Pendekatan perilaku tidak didasari oleh teori tertentu
yang khusus. Pendekatan ini merupakan pendekatan induktif yang menerapkan
metoda eksperimen di dalam proses
terapetik. Pendeknya dapat dikatakan bahwa pendekatan ini merupakan model
konseling yang mempunyai banyak teknik tetapi memiliki hanya sedikit konsep.
Dalam hal ini Wolpe (1969) mengartikan terapi perilaku itu sebagai penggunaan
prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan
mengubah perilaku yang tidak sesuai.
Sesuai dengan semangat metode
eksperimental, maka hal utama yang perlu diperhatikan dan dilakukan konselor
dan klien dalam konseling perilaku itu adalah menyaring dan memisahkan perilaku
yang bermasalah itu dan membataskan secara khusus perubahan apa yang
dikehendaki. Dalam hal ini konselor konseling kelompok meminta para klien untuk
mengkhususkan perilaku apa yang benar-benar ingin diubahnya, dan perilaku baru
yang ingin diperolehnya. Deskripsi umum yang samar-samar tentang perilaku itu
tidak bermanfaat untuk dijadikan titik pangkal dari konseling, dan oleh karena
itu tidak dapat diterima sebagai pembatasan.
2.2.
Tujuan
Terapetik yang tepat
Dalam kebanyakan konseling, tahap-tahap pertama dari
kegiatan konseling kelompok diarahkan kepada perumusan pernyataan yang khusus
mengenai tujuan pribadi yang ingin dicapai oleh setiap anggota kelompok. Hal
ini berkenaan dengan perilaku kongkrit yang bermasalah yang ingin mereka pelajari
selama berada dalam kelompok tersebut. Perilaku yang secara khas ingin mereka
ubah mencakup: mengurangi kecemasan, menghilangkan fobi yang mengganggu fungsi
mereka sebagai individu, mengurangi berat badan yang berlebihan, dan
menghilangkan segala macam kecanduan (merokok, minum-minuman keras, dan obat
bius). Keterampilan baru yang pada umumnya mereka ingin peroleh di antaranya
adalah :
(1)
belajar bertanya secara jelas dan langsung mengenai apa yang mereka
inginkan
(2)
memperoleh kebiasaan yang mengarah kepada kesantaian fisik dan psikologis
(3)
mampu mengatakan “tidak” tanpa perasaan bersalah
(4)
belajar bersifat tegas (assertive)
tanpa menjadi agresif
(5)
mengembangkan metoda khusus untuk mengendalikan diri, seperti latihan
secara teratur, mengendalikan pola jadwal makan, dan menghilangkan tekanan
psikologis
(6)
pemantauan diri mengenai perilaku atau kognisinya sendiri sebagai jalan
untuk mendatangkan perubahan
(7)
belajar memberikan dan menerima balikan yang positif dan negatif
(8)
mampu mengenal dan menantang pola pikir yang merusakkan diri sendiri atau
pernyataan diri yang irasional
(9)
belajar tentang keterampilan sosial dan keterampilan berkomunikasi
(10)
mengembangkan strategi pemecahan masalah untuk menangani berbagai situasi
yang dihadapi dalam kehidupan.
Dalam hal ini, tugas konselor kelompok adalah merinci
dan memilih tujuan umum menjadi tujuan yang khusus, kongkrit, dan dapat diukur
yang dapat ditelusuri dengan sistematik. Misalnya, apabiola seorang klien
menyatakan bahwa dia ingin merasa lebih memadai dalam situasi-situasi sosial,
maka konselor akan bertanya: “Dalam keadaan khusus yang bagaimana Anda merasa
memadai? Dapatkah Anda memberikan contoh situasi seperti apa yang menyebabkan
Anda merasa memadai? Dengan cara khusus manakah Anda ingin mengubah perilaku
Anda?” Kelompok dapat menolong para anggotanya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab itu, sehingga perilaku yang
diinginkan menjadi jelas dan kongkrit bagi klien maupun bagi anggota kelompok
lainnya.
2.3.
Perumusan Rancangan Kegiatan dan Penerapan
Metoda-metoda yang Berorientasi Tindakan
Setelah para anggota mengkhususkan
tujuan-tujuannya, maka kelompok bersama konselor membuat rancangan kegiatan
kelompook untuk memberi perlakuan (treatment)
untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan itu. Dalam beberapa bentuk konseling
kelompok, perencanaan kegiatan itu tidak dilakukan atau tidak dipersoalkan,
karena kelompok semacam itu telah dirancang untuk suatu tujuan tertentu,
misalnya kelompok yang dibentuk khusus untuk belajar mengendalikan perilaku
tertentu, kelompok untuk kecemasan menghadapi ujian, dan kelompok untuk melatih
kemampuan bertindak tegas. Walaupun demikian, dalam kegiatan kelompok yang
dirancang untuk bidang masalah tertentu sekalipun, pemilihan metoda perilaku
yang tepat masih perlu dipertimbangkan, agar para peserta benar-benar dapat
mencapai tujuan terapetiknya.
Strategi yang pada umumnya
digunakan adalah yang mendorong para anggota berinteraksi dalam kelompok itu,
seperti pemberian contoh, gladi perilaku, latihan, pekerjaan rumah, pemberian
balikan, dan pemberian informasi.
Teknik-teknik perilaku itu
berorientasi tindakan, oleh karena itu, para anggota kelompok diharapkan
melakukan sesuatu, bukan hanya memperhatikan secara pasif dan terlena dalam
introspeksi saja. Meskipun wawasan kognitif dan emosional dihargai dalam
pendekatan ini, dan mendengarkan secara aktif serta pemahaman empatik dianggap
sebagai keterampilan konseling yang penting, akan tetapi klien harus diajar
untuk melakukan tindakan khusus apabila perubahan perilaku klien itu
diinginkan.
2.4.
Penilaian Objektif terhadap Hasil dan Balikan
Hasil konseling kelompok dapat dinilai secara objektif,
karena segalanya sudah diatur secara khusus. Sasaran perilaku yang hendak
diubah sudah didefinisikan secara jelas, tujuan perlakuan telah dirumuskan
secara khusus, dan prosedur terapetik pun telah dirinci secara sistematik.
Penilaian kemajuan konseling kelompok merupakan suatu proses yang terus menerus
dan berkesinambungan, karena penialain itu bukan saja diarahkan kepada
keberhasilan dan efektivitas prosedur teknik yang digunakan. Misalnya, apabila
suatu kelompok akan menagdakan pertemuan selama 20 minggu dengan tujuan untuk
belajar bersantai dan mengurangi tekanan psikologis, maka data dasarnya bisanya
diambil pada pertemuan-pertemuan pertama, yaitu dengan mengukur kadar tekanan
psikologis pada setiap anggota kelompok. Kemudian, pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap sampai berapa jauh perilaku para
anggota itu telah berubah, yaitu berdasarkan pengukuran terhadap kadar tekanan
psikologis pada akhir setiap pertemuan. Dengan demikian, setiap anggota
kelompok dapat mengetahui keberhasilan upayanya dalam mencapai tujuan perilaku
yang telah ditentukan itu. Pemberian balikan kepada para anggota secara terus
menerus merupakan bagian yang penting dalam konseling kelompok berdasarkan
pendekatan perilaku ini.
Keputusan untuk menggunakan sutau teknik didasarkan atas
keberhasilan setiap teknik itu dalam mendatangkan hasil konseling kelompok,
yaitu tercapainya tujuan terapetik yang telah dirumuskan pada awal kegiatan
konseling kelompok.
3.
Penerapan
Konsep Dasar Pendekatan Perilaku
Tingkah laku manusia diperoleh dari berajar, dan proses
terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kemasakan dan belajar. Hal ini
merupakan asumsi dasar pendekatan behavioral mengenai perkembangan kepribadian,
bahwa atas dasar landasannya pada teori belajar, maka berpendapat terbentuknya
tingkah laku, baik positif maupun negatif dari belajar. Dengan demikian
penerapan konsep dasar pendekatan perilaku dapat didekati dengan teori-teori
belajar.
Tidak ada
teori belajar yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan tentang klien,
melainkan memberikan dasar bagi perkembangan teknik konseling. Oleh karena itu
bila ingin mengetahui tentang manusia dapat didasarkan pada teori belajar.
Thoresen (dalam Rosjidan, 1994 : 8) meninjau tingkah laku manusia dari dua
sisi, yang disebut antecedents dan consequences; yang pertama mengacu pada
hal yang menyebabkan tingkah laku dan kedua pada akibat yang mengikuti tingkah
laku. Teori belajar dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk yaitu : classical conditioning, operant
conditioning, dan social learning
atau observational learning.
3.1.
Classical
Conditioning
Classical
conditioning memusatkan perhatian pada pengawal tingkah laku. Ia
dapat dikata pula sebagai respondent
conditioning, sebab pengawal (antecedent)
merupakan stimulus. Pusat perhatian dari conditioning ini pada stimulus yang
menimbulkan respon reflektif. Teori belajar ini dilandasi dengan penemuan
Pavlov dan Watson.
3.2.
Operant
Conditioning
Operant
conditioning memusatkan pada akibat dari tingkah laku. Oleh karena
itu disebut pula instrumental
conditioning. Kejadian yang mengawali tingkah laku dipandang sebagai
cues yang memberikan informasi
tentang datangnya akibat (consequnces).
Dalam pengertian ini pengawal tingkah laku tidak mengontrol respon, tetapi akan
memberikan informasi prediktif tentang
akibat tingkah laku. Perubahan tingkah laku klien merupakan hasil alternasi consequence. Arsitek teori belajar ini adalah B.F.
Skinner. Ia percaya bahwa tingkah laku yang paling berarti adalah operant dan
tingkah laku ini dikontrol oleh akibat-akibatnya. Sebagai akibat diistilahkan reinforcers atau punishers.
3.3.
Social
Learning
Belajar sosial juga disebut belajar
observasional, modeling atau belajar imitatif. Social learning merupakan pandangan integratif, dan mengganggap
bahwa lingkungan internal dan eksternal klien saling mempengaruhi.
Kejadian-kejadian belajar sebagai hasil interaksi ketergantungan kedua
lingkungan tersebut. Mischel (dalam Rosjidan 1994 :8) mengemukakan bahwa
tingkah laku dipengaruhi oleh lima variabel yaitu kompetensi, strategi, dan
susunan pribadi, harapan-harapan hasil, nilai stimulus, sistem dan rencana
pengaturan diri.
3.4.
Komponen-komponen
Belajar
Selanjutnya komponen-komponen belajar
merupakan bagian vital bagi konseling behavioral. Komponen belajar merupakan
konsep yang memberikan dasar untuk memahami bagaimana klien belajar bertingkah
laku dan mempersembahkan strategi-strategi teknik untuk membentu klien belajar
tingkah laku-tingkah laku baru.
3.4.1.
Reinforcement
Konsep reinforcement dikembangkan atas dasar teori operant conditioning. Reinforcement
menunjukkan proses belajar dimana akibat yang menyertai yang menyertai tingkah
laku menjadi meningkat. Ada dua kategori reinforcer,
(1) primary reinforcer yang memiliki nilai perangsang tanpa perlu latihan
terlebih dahulu, seperti air, makanan dan item lain yang vital bagi hidup; (2) scondary reinforcer merupakan hasil
pengalaman belajar yang bersyarat, seperti hadiah, uang dan sebagainya.
3.4.2.
Punishment
Penampakan akibat yang dipandang
sebagai penghapusan kejadian akibat dan dirasa memuaskan adalah punishment (hukuman). Hasil punishment melawan reinforcement. Dalam kehidupan kegunaan punishment terbatas. Tingkah laku yang distop dengan hukuman sering
kali muncul kembali dan kadang-kadang malah lebih kuat dari tingkah laku
sebelum hukuman diberikan. Klien dapat
melakukan kegiatan-kegiatannya yang dilakukan di luar kontrol lembaga yang
memberi hukuman. Sedapat-dapatnya pengurangan tingkah laku harus menggunakan
proses-proses selain hukuman.
3.4.3.
Extinction
Berakhirnya pengaruh reinforcement bagi sebuah penampilan
respon disebut extinction. Extenction merupakan prosedur yang
di dalamnya consequence tidak tersedia mengikuti respon. Prosedur-prosedur
extinction telah banyak digunakan dalam berbagai situasi, seperti klien yang
berbicara negatif, isolasi sosial, dan berbagai kebiasaan klien.
3.4.4.
Generalization
Generalization
adalah memakai respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan
suatu stimulus , untuk merespon stimulus lain. Semakin mirip kedua stimulus
itu, semakin besar kemungkinan terjadinya pengulangan respon. Generalisasi bisa
menguntungkan karena individu dapat mencoba merespon situasi baru tanpa harus
belajar membuat respon yang sama sekali baru terlebih dahulu. Tetapi
generalisasi akan merugikan kalau terjadi pada event negatif yang digeneralisir
menjadi semua yang mirip dengan event itu dinilai negatif. Hal ini akan
menghambat individu mempelajari respon yang tepat.
3.4.5.
Discrimination
Discrimination
adalah kemampuan individu membedakan dua stimulus yang mirip. Diskriminasi ini
dikembangkan melalui proses membedakan reinforcement.
Orang merasa perlu merespon stimulus dengan kecermatan tertentu karena
kecermatan itu akan menghasilkan reinforcement kepuasan. Tingkat diskriminasi
tergantung pada seberapa penting suatu situasi harus dibedakan oleh individu.
Seorang kameramen akan peka terhadap perubahan cuaca, agar foto yang
dihasilkannya memuaskan, dan seorang musisi peka terhadap perbedaan irama.
3.4.6.
Shaping
Shaping
adalah gerakan tingkah laku yang sederhana menuju ke tingkah laku kompleks.
Untuk membantu klien mempelajari tingkah laku yang kompleks, diupayakan dengan
mempelajari sedikit demi sedikit atau komponen demi komponen. Konsep-konsep
belajar tersebut di atas digunakan untuk membantu klien dalam proses shaping.
3.4.7.
Vicarious
Processes
Pengaruh konsep-konsep nomor 1
sampai dengan nomor 6 di atas dapat diberikan melalui mengamati respon-respon
orang lain. Modeling sebagai bentuk vicarious processes.
4.
Prosedur
Konseling Kelompok Berdasarkan Pendekatan Perilaku
Prosedur
konseling kelompok berdasarkan pendekatan perilaku menurut Natawidjaya (1987 :
200 – 211) bisa dijabarkan dalam beberapa tahapan, antara lain ; tahap
permulaan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.
4.1. Tahap Permulaan
Tahap
permulaan meliputi kegiatan-kegiatan sebelum terbentuknya kelompok dan
pertemuan-pertemuan pertama dari keseluruhan rencana konseling. Pada umumnya
calon anggota kelompok hanya mengetahui sedikit sasja mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan proses kelompok. Oleh karena itu, sebelum, para calon anggota
itu memasuki kelompok konseling yang sesungguhnya, terlebih dahulu diberi
informasi yang cukup memadai mengenai proses kelompok. Kegiatan sebelum proses
konseling dalam pertemuan awal diisi dengan penjajagan harapan para calon
anggota dan membantu mereka untuk menentukan sendiri apakah mereka akan
mengikuti kelompok konseling itu. Mereka yang memutuskan untuk mengikuti
kelompok akan menerima kontrak kegiatan. kontrak tertulis itu menjelaskan apa
yang diharapkan konselor kelompok dari para anggota selama kegiatan
berlangsung, sebaliknya apa yang dapat diharapkan para anggota kelompok dari
konselor. Kontrak yang dibuat berdasarkan perundingan antara konselor dengan para anggota kelompok itu memperlihatkan harapan
yang timbal balik antara kedua belah pihak.
Pada
tahap permulaan ini, kelompok memusatkan perhatian pada pembentukan kepaduan
kelompok, pembiasaan terhadap struktur konseling kelompok dan penemuan perilaku
bermasalah yang akan diperbaiki. Untuk membangun kepaduan kelompok, maka pada
tahap ini konselor mempunyai tugas untuk membangun kepercayaan. Konselor harus
berusaha supaya kelompok menjadi menarik bagi anggotanya, menciptakan suasana
kelompok sedemikian rupa sehingga sehingga para anggota memiliki kompetensi
sosial yang memadai, mempunyai peranan dalam kelompok. Berangsur-angsur secara
tepat waktu dan suasana konselor mendelegasikan tanggungjawab kepemimpinan
kepada salah seorang anggota, serta menciptakan situasi sedemikian rupa
sehingga setiap anggota dapat berfungsi sebagai mitra terapeutik bagi anggota yang lainnya, mengendalikan konflik
kelompok, dan menemukan cara melibatkan semua anggota dalam interaksi kelompok.
Asesmen merupakan unsur yang sangat penting pada tahap permulaan ini, karena
sebelum tindakan bantuan dimulai dalam kelompok, maka permasalahan
anggota-anggota kelompok harus dijabarkan dalam bentuk perilaku yang khusus.
Masalah yang kompleks tidak dihindari, tetapi dipilih dan dirinci menjadi
komponen-komponen perilaku yang lebih khusus, sehingga semua masalah itu dapat ditangani dengan
memadai di dalam kegiatan kelompok.
Setelah
perilaku bermasalah itu dibataskan secara khusus, perilaku itu diobservasi dan
diukur oleh para anggota kelompok. Prosedur ini memberikan data dasar atau
informasi perilaku sebelum perlakuan bantuan dilakukan, yang dapat digunakan
sebagai rujukan untuk membandingkan perilaku sebelum dan sesudah perlakuan
bantuan itu. Seperti halnya asesmen, pemantauan (proses pengumpulan data selama
kegiatan kelompok) dilakukan secara berkesinambungan sepanjang kegiatan
kelompok dan berakhir pada waktu wawancara dalam tindak lanjut. Konselor dan
klien menggunakan data itu untuk menilai efektivitas dari teknik-teknik yang
digunakan, pertemuan kelompok, dan pelaksanaan konselinh secara umum.
Apabila
data dasar telah terbentuk, maka proses perumusan tujuan dan pengembangan
rancangan kegiatan bantuan dimulai. Para peserta diminta untuk merumuskan
tujuan jangka panjang dan jangka menengah. Dengan keterlibatan para peserta
dalam penentuan tujuan itu, maka mereka akan menjadi peserta aktif dan
mengetahui proses pengembangan rencana kegiatan itu. Konselor mulai memilih
strategi terapeutik yang cocok untuk mencapai tujuan konseling secara optimal.
Pembuatan
kontrak tertulis sangat diperlukan karena akan menjadikan proses kegiatan dan
bantuan lebih eksplisit yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pembentukan
kontrak tertulis itu bermanfaat, yaitu (1) secara etis, klien memahami secara
jelas dan berhak untuk mengetahui sebelumnya tentang komitmen dirinya dengan
kelompok; (2) kontrak yang tegas akan menimbulkan kepercayaan yang pada
akhirnya akan memperlancar proses konseling; (3) kontrak yang dibuat bersama
akan lebih menajamkan kesadaran para
peserta akan peranan yang harus dilakukan dalam keseluruhan kegiatan konseling;
(4) kontrak yang jelas akan mengaitkan prosedur terapeutik khusus dengan tujuan
yang ingin dicapai.
4.2. Tahap Pelaksanaan
Asesmen,
pemantauan dan penilaian merupakan proses yang bersinambung selama keseluruhan
proses konseling. Dengan demikian pada tahap pelaksanaanpun asesmen, pemantauan
dan penilaian itu terus dilakukan oleh konselor bersama-sama dengan semua
anggota kelompok, dengan tujuan seperti dikemukakan terdahulu. Berdasarkan
penilaian yang terus menerus beserta balikannya kepada kelompok, maka konselor
beserta para peserta dapat memperoleh bahan untuk memilih dan menentukan
strstegi kegiatan lain yang lebih efektif. Adapun strategi-strategi kegiatan
bantuan yang dapat digunakan dalam tahap pelaksanaan antara lain sebagai
berikut:
4.2.1. Reinforcement
Penguatan kembali merupakan
prosedur intervensi yasng penting dalam konseling kelompok perilaku. Selain
penguatan oleh konselor, terjadi pula penguatan dari para anggota peserta
sendiri kepada peserta lainnya dengan cara penghargaan, persetujuan, dukungan,
dan perhatian. Penguatan ini dapat dilakukan dengan meminta kepada para peserta
pada permulaan setiap pertemuan untuk melaporkan hasil-hasil yang telah dicapai,
sebaiknya hal-hal yang berkenaan dengan kegagalan tidak dilaporkan pada
permulaan pertemuan. Laporan tentang keberhasilan dalam permulaan pertemuan ini
memberikan penguatan kepada mereka yang telah memperoleh hasil yang baik dalam
hidup sehari-hari dan menunjukkan kepada semua peserta bahwa perubahan itu
mungkin pada seseorang. Laporan kemajuan ini, terutama sangat penting apabila
para anggota telah memperlihatkan perilaku yang lebih baik, akan tetapi belum
mencapai apa yang sebenarnya diharapkanoleh yang bersangkutan. Laporan kemajuan
ini berguna pula bagi mereka yang perilakunya yang telah berubah itu tidak
mendapat persetujuan dari lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan
ini, penguatan kembali dan dukungan kelompok sangat penting artinya bagi klien
yang bersangkutan, apabila dia ingin mempertahankan keberhasilannya.
4.2.2. Kontrak Kontingensi
Kontrak kontingensi menjelaskan
perilaku yang harus dilakukan, perubahan, penghentian kegiatan; hadiah yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan, dan kondisi-kondisi untuk menentukan
pemberian hadiah-hadiah. Apabila mungkin kontrak semacam ini berisikan pula
batas waktu untuk memperlihatkan perilaku yang dinginkan. Kontrak kontingensi
ini biasanya digunakan untuk anak-anak, karena bagi orang dewasa hal ini
dirasakan sebagai suatu yang merendahkan diri.
4.2.3. Pemberian Contoh.
Pemberian
contoh dalam bentuk peranan merupakan alat mengajar yang sangat kuat yang
digunakan dalam penyuluhan kelompok perilaku. Salah satu keunggulan konseling
kelompok dibandingkan dengan konseling individual yang berorientasi pada
pendekatan perilaku adalah bahwa suasana kelompok memberikan berbagai model
sosial dan model peranan yang dapat ditiru oleh para peserta. Fungsi model ini
ditampilkan baik oleh konselor maupun oleh para peserta sendiri bagi peserta
lainnya.
Ada
beberapa ciri dari pola pemberian contoh yang efektif, yaitu : (1) model yang
mempunyai kesamaan dengan pengamatnya (2) model yang mempunyai kedudukan dan
prestise yang lebih tinggi; (3) model yang kompeten dalam penampilannya dan
memperlihatkan kehangatan cenderung mempunyai pengaruh percontohan yang tinggi.
4.2.4. Gladi Perilaku
Kebanyakan
prosedur konseling perilaku menuntut latihan dalam bentuk gladi. Tujuan utama
dari gladi perilaku yaitu untuk mempersiapkan para klien supaya mampu melakukan
atau menampilkan perilaku y6ang dikehendaki dan telah diperoleh dalam kelompok
itu dalam suasana di luar kelompok
konseling. Dalam hal ini perilaku baru dipraktikkan dalam konteks yang aman
yang mengumpamakan dunia luar yang sebenarnya. Dalam gladi perilaku itu, para
peserta akan berlindung dari akibat yang merugikan dan juga akan mendapat
penguatan dari konselor dan rekan-rekannya, pada gilirannya hal ini akan meningkatkan dorongan bagi
peserta untuk mencoba menampilkan perilaku baru itu dalam situasi kehidupan
sehari-hari. Sebaiknya gladi perilaku baru itu dilakukan dalam suasana yang
sangat mirip dengan lingkungan klien dalam kehidupannya di luar kelompok.
Dengan demikian akan terjadi generalisasi yang maksimum dari keadaan kelompok
kepada keadaan lingkungan klien sendiri.
Gladi perilaku ini sangat baik
untuk mengajarkan ketrampilan sosial. Dalam gladi perilaku, para peserta tidak
hanya mengetahui dan memahami apa yang harus mereka lakukan dan katakan, melainkan
mereka dapat mencoba dan mendapat koreksi melalui balikan dari konseling,
peserta lain, bahkan dari peserta yang bersangkutan sendiri. Penilaian dan
balikan subjektif dari diri sendiri itu dapat diperoleh apabila gladi perilaku
itu menggunakan alat-alat seperti pita video.
4.2.5.
Melatih
Sebagai
tambahan terhadap penggunaan percontohan dan gladi perilaku, kadang-kadang para
peserta membutuhkan latihan khusus. Ini merupakan suatu teknik untuk memberikan
informasi kepada para peserta tentang ketepatan perilaku yang mereka tampilkan.
Latihan khusus ini sebaiknya dilakukan sejalan dengan gladi perilaku. Dalam hal
ini pelatih duduk di belakang peserta yang sedang melakukan gladi perilaku.
Apabila salah seorang peserta mogok dan tidak tahu apa yang harus dilakukan
selanjutnya, maka pelatih atau salah
seorang peserta lain yang dapat bertindak sebagai pelatih, membisikkan saran
tertentu kepada yang bersangkutan. Latihan ini sedapat mungkin secepatnya
dikurangi, supaya peserta dapat segera mampu melakukan peranan atau perilakunya
secara mandiri, sebelum ia mencobanya dalam suasana kehidupan sehari-hari
diluar kelompok.
4.2.6.
Penataan Kembali kognisi
Proses
kognitif yang terjadi didalam diri individu seringkali mempunyai implikasi
terhadap perubahan perilaku. Para anggota kelompok seringkali menampilkan
pemikiran yang cenderung mengalahkan diri sendiri atau berbicara sendiri
mengenai hal-hal yang irasional apabila mereka menghadapi situasi yang menekan. Penataan kembali
kognisi adalah proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak
negatif pemikiran tertentu terhadap perilaku, dan belajar mengganti kognisi
tersebut dengan pemikiran yang lebih realistik dan lebih cocok. Penataan
kembali kognisi ini dapat dilakukan dengan jalan memberikan informasi yang
korektif, belajar mengendalikan pemikiran sendiri, menghilangkan keyakinan yang
irasional, dan menandai kembali diri sendiri.
4.2.7.
Pemecahan Masalah
Pemecahan
masalah adalah suatu pendekatan perilaku kognitif yang memungkinkan individu
mengembangkan pola perilaku untuk menangani berbagai masalah. Tujuan utama dari
pemecahan masalah adalah menemukan alternatif yang paling efektif untuk
menangani situasi permasalahan dan memberikan latihan yang sistematik tentang
keterampilan-keterampilan kognitif dan perilaku yang dapat membantu klien untuk
secara mandiri menangani situasi permasalahan dalam dunia yang sesungguhnya.
4.3. Tahap
Akhir
Dalam
tahap ini, konselor pertama-tama berusaha membantu klien mengalihkan perubahan
yang telah diperoleh klien itu dalam kelompok kepada keadaan yang sebenarnya
dalam lingkungan sehari-hari. Konselor kelompok perilaku tidak mengharapkan
pengalihan atau generalisasi itu berlangsung secara kebetulan saja. Mereka
merancang pertemuan sedemikian rupa sehingga pengalihan belajar dapat
dimaksimumkan dan ketrampilan-ketrampilan yang baru diperoleh akan
dipertahankan setelah kegiatan kelompok seluruhnya berakhir.
Pengalihan
ketrampilan baru itu dapat dilakukan melalui kegiatan simulasi dengan
menggunakan teknik gladi perilaku. Dalam simulasi ini perlu diatur sistem
balikan yang terencana. Dengan bahan balikan itu peserta yang bersangkutan akan
memperoleh penguatan kembali bagi ketrampilan-ketrampilan yang baru
diperolehnya dalam kegiatan kelompok itu.
Pada tahap
akhir ini pun dilakukan perencanaan untuk tindak lanjut kegiatan kelompok.
Tindak lanjut ini penting dilakukan untuk mengetahui sampai dimana
perilaku-perilaku baru itu dapat diterapkan dengan berhasil dalam kehidupan
yang sesungguhnya. Untuk ini maka perlu dilakukan pengamatan dan monitoring
lanjut terhadap kehidupan klien setelah kegiatan kelompok. Lebih resmi lagi
dapat dilakukan wawancara tindak lanjut dengan setiap klien yang telah
melaksanakan konseling kelompok itu. Wawancara itu dapat dilakukan tiga, enam,
atau duabelas bulan sesudah konseling kelompok itu berakhir. Cara lain adalah
dengan jalan mengadakan pertemuan pasca konseling. Pertemuan itu dapat
dilakukan antara konselor dengan semua mantan anggota kelompok konseling itu.
5.
Teknik-teknik
Konseling Kelompok Pendekatan Perilaku
Pendekatan konseling perilaku sudah berkembang luas,
tidak sesempit batasan Skiner (Rosyidan, 1994:27). Memang ada konselor
tardisional yang masih mendasarkan model konsleingnya semata-mata pada teknik
yang berakar pada hukum-hukum belajar. Namun sebagian besar lainnya di samping
menerapkan hukum-hukum belajar, juga memanfaatkan berbagai teknik pendekatan
lain. Lazarus mengemukakan: “Dalam detil praktik kerja sehari-hari saya dengan
klien, saya temukan perlunya meluaskan dasar konvensional dari terapi
behavior”. Begitu pula halnya dengan Krumboltz dan Thoresen, mengatakan: “Tidak
ada daftar teknik yang diterima untuk dipakai konselor yang menyebut dirinya
konselor behavioral. Pintu harus tetap terbuka untuk semua prosedur yang mungkin
berguna.” Teoretisi semacam ini bisa disebut behavioris eklektik, namun dasar
operasi kerjanya tetap behavioral.
Teknik-teknik konseling dalam praktik pendekatan
perilaku menurut Corey (1986:182-196) adalah (1) Relaxation Training and
Related Methods, (2) Systematic Desensitization, (3) Token economies, (4) Forms of Punishment, (5) Modeling Methods, (6) Assertion Training, (7) Self-Management Programs and Self-Directed
Behavior, (8) Multimodal Therapy.
Sementara itu, Rosyidan (1994: 28-32) mengemukakan tentang teknik-teknik
konseling dalam pendekatan perilaku sebagai berikut: 1) Memperkuat tingkah laku
yang terdiri atas (a) shaping, (b) behavior contracts, (c) assertive training, 2) Modeling yang terdiri atas (d) proses
mediasi, (e) live model dan symbolic model, (f) behavior rehearsal, (g)
cognitive restructuring, (h) covert
reinforcement, 3) Melemahkan tingkah laku yang terdiri atas (i) extinction, (j) reinforcing incompatible behavior, (k) relaxation training, (l)
systematic desensitization, (m) satiation.
Dari dua pendapat di atas, disimpulkan dan jelaskan
tentang teknik-teknik pendekatan perilaku sebagai berikut.
a. Shaping
Shaping adalah mengajarkan tingkah
laku dengan terus menerus melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan.
Tingkah laku yang tidak pernah dimunculkan tidak dapat direinfors. Karena itu
dalam mengajarkan tingkah laku yang dikehendaki harus direinfors. Shaping
dilakukan melalui sejumlah pendekatan berangsur, dimana dalam proses itu ada
tingkah laku yang direinfors, ada yang tidak. Melalui aproksimasi ini tingkah
laku seseorang secara bertahap menjadi didekati sehingga akhirnya dapat
dibentuk tingkah laku yang diharap.
b. Behavior
Contracts
Syarat mutlak untu memantapkan
kontrak behavioral adalah batasan yang cermat mengenai problem klien, situasi
dimana hal itu diekspresikan, dan kesediaan klien untuk mencoba prosedur itu.
Penting untuk merinci tugas yang harus ia lakukan. Kriteria sukses disebutkan
dan reinforcement ditentukan. Kalau
semuanya itu dilakukan, kontrak dapat dimantapkan melalui reinforcement yang cukup dekat dengan tugas dan kriterium yang
diharapkan.
Beberapa saran yang perlu
diperhatikan: (1) Nyatakan kontrak dalam kalimat positif, (2) Atur tugas dan
kriteria yang memungkinkan dapat dicapai, (3) Beri penguat secepat mungkin, (4)
Dorongan individu mengembangkan self-reinforcing,
(5) Gunakan kontrak bertingkat (kontrak mengacu pada tugas, diikuti hadiah yang
menimbulkan kontrak baru, diikuti pelaksanaan tugas, kotrak, dan seterusnya).
c. Assertive
Training
Assertive
training menggunakan prosedur-prosedur permainan peranan.
Misalnya, klien mengeluh bahwa ia sering merasa tertekan oleh orang tua yang
menyuruh melakukan hal-hal yang ia nilai sebagai perbuatan yang tidak adil, dan
bahwa ia pada umumnya mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang
tuanya. Pertama, klien mengambil peranan sebagai orang tua sedangkan konselor
menjadi model dari cara yang ia anggap klien lakukan terhadap orang tuanya.
Kemudian mereka berganti peranan. Klien mencoba tingkah laku baru dan klien
bertindak sebagai orang tua. Proses shaping
terjadi bila tingkah laku baru mendekati yang sebenarnya.
Assertive
training terutama dapat diterapkan pada situasi-situasi
interpersonal, dimana individu yang mempunyai kesulitan-kesulitan perasaan
sesuai atau tepat untuk menyatakannya. Assertive training dapat membantu bagi orang-orang berikut ini: (1) mereka yang
tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelan, (2) mereka yang sopan
berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari padanya, (3)
mereka yang mempunyai kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mereka yang sukar
menyatakan kecintaan dan respon-respon positif lainnya, (5) mereka yang merasa
tidak punya hak untuk menyatakan pikiran dan perasaannya.
d. Proses
Mediasi
Agar pengamat tingkah laku modeling
meniru respon yang dikehendaki pada kondisi yang senada dengan stimulus yang
diterima model, harus ada sistem mediasi dalam penyampaian dan pengungkapan
kembali asosiasi antara stimulus itu dengan responnya dalam ingatan. Proses
mediasi itu melibat empat aspek, yaitu: atensi, retensi, reproduksi motorik dan
insentif.
Atensi pada respon model menjadi
syarat mutlak belajar observasional. Retensi diperlukan dalam bentuk yang
simbolik dan cukup baik, karena tingkah laku sosial mungkin baru dijumpai
sesudah kurun waktu yang lama. Reproduksi motorik, berarti orang menerjemahkan
kembali simbolik dalam bentuk tingkah laku, yang tidak selalu mudah apalagi
khasanah respon itu jarang dipergunakan. Respon itu sendiri akhirnya hanya akan
dipakai kalau ada insentif secukupnya bersamaan
atau sebagian konsekuensi dari emosinya.
e. Live
Model dan Symbolic Model
Live model adalah model hidup, bisa
konselor atau orang lain. Live model dapat mengajarkan klien tingkah laku yang
sesuai, pengaruh sikap dan nilai dan keahlian-keahlian kemasyarakatan. Dalam
proses konseling ini, para konselor dapat mengajarkan hal-hal : penyingkapan
diri, menghadapi resiko, keterbukaan, kejujuran, perasaan iba dan semacamnya.
Konselor dapat mengajarkan rasa hormat, perasaan menerima orang lain, toleransi
dan keberanian, dengan cara menjadikan diri model.
Symbolic model, tingkah
laku-tingkah laku model ditunjukkan melalui film, video dan media rekaman lain.
Symbolic model telah sukses digunakan sebagai model dalam berbagai situasi.
Salah satu contohnya adalah para klien yang mengalami berbagai macam perasaan
takut. Dengan cara mengamati model yang berhasil menemui situasi yang
menyebabkan klien mengurangi atau membatasi perasaan takut tertentu.
f.
Behavior Rehearsal
Kebanyakan prosedur konseling
behavioral menuntut latihan dalam bentuk gladi. Tujuannya adalah untuk
mempersiapkan klien mampu melakukan dan menampilkan tingkah laku yang
dikehendaki dalam situasi nyata. Latihan tingkah laku dapat dikombinasikan
dengan pendekatan behavioral lainnya, misalnya sebagai bagian dari proses
shaping, atau sesudah presentai model. Seyogyanya behavioral rehearsal
dilakukan dalam suasana yang sangat
mirip dengan lingkungan nyata klien. Teknik ini sangat baik untuk mengajarkan
ketrampilan sosial. Dalam behavior rehearsal, klien tidak hanya tahu dan
memahami apa yang harus dilakukan dan dikatakan, melainkan dapat mencoba dan
mendapat koreksi melalui balikan dari konselor.
g. Cognitive
Restructuring
Proses kognitif yang terjadi di
dalam diri individu seringkali mempunyai implikasi terhadap perubahan tingkah
laku. Cognitif restructuring adalah proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak negatif pemikiran
tertentu terhadap tingkah laku, dan belajar mengganti
h.
Covert Reinforcement
Teknik ini irip dengan cognitive restructuring, yakni memakai
imaji untuk menghadiahi diri sendiri. Klien diminta untuk memasangkan antara
tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan sesuatu yang negatif, dan
memamsangkan imaji sesuatu yang dikehendaki dengan imaji sesuatu yang ekstrim
positif. Misalnya ia menikah dan membayangkan hidup bahagia dengan isteri dan
anak-anaknya. Sekaligus ia juga diminta membayangkan tidak menikah, dan
membayangkan dirinya sering melacur sampai bekakasnya
busuk berbau, dan terkena AID.
i.
Extinction
Extinction merupakan prosedur untuk memperlemah hubungan
stimulus respon dengan tujuan memperlemah perileku yang tidak dikehendaki.
Klien yang tidak mengerjakan PR, diminta mengerjakan PR tersebut di papan
tulis, apapun hasilnya, dan setelah itu ia diminta menjelaskan kepada
teman-temannya. Dengan cara demikian, klien yang malas (perilaku yang tidak
dikehendaki) diharapkan menjadi lebih rajin.
j.
Reinforcing Incompatible Behavior
Dengan memperkuat tingkah laku
positif, tingkah laku negatif dapat dikurangi. Misalnya konselor ingin klien
berbicara mengenai dirinya, maka setiap respon yang berisi pembicaraan mengenai
diri sendiri direinforcers, dan
pembicaraan yang tidak mengenai diri sendiri diabaikan. Dua tingkah laku yang
bertentangan, yang satu positif-dikehendaki reinfors, yang satu negatif dan
akan dihilangkan dengan dianggap tidak ada. Hasilnya,m tingkah laku negatif
semakin berkurang/jarang muncul.
k. Relaxation
Training
Latihan relaksasi merupakan teknik untuk mengajar
seseorang untuk menangani stress yang dihasilkan oleh kehidupan sehari-hari
dengan dengan cara melakukan relaksasi (santai, pengendoran otot-otot).
Tujuannya adalah agar otot-otot menjadi kendor dan mental menjadi santai
sehingga klien mejadi segar kembali. Setelah klien mempelajari dasar-dasar dari
prosedur relaksasi, maka hal yang esensial adalah bahwa mereka mempraktikkan
latihan-latihan relaksasi setiap hari agar bisa memperoleh hasil yang maksimal.
Latihan relaksasi dapat dilakukan
untuk seluruh otot-otot tubuh jika klien memang mengalami ketegangan yang
menyeluruh, tetapi dapat pula dilakukan dengan relaksasi pada otot-otot tubuh
tertentu jika yang mengalami ketegangan hanya otot-otot bagian tubuh tertentu.
Yang pertama disebut sebagai progressive
relaxation, dan yang kedua disebut disebut scanning relaxation.
l.
Systematic Desensitization
Desensitisasi sistematik menunjukkan prosedur
eksperimental untuk mengurangi kecemasan dengan perasaan santai, yang
dilaksanakan dengan cara (1) memeperkuat hubungan respon baru dengan stimulus
yang menimbulkan tingkah laku malasuai, (2) memperlemah hubungan respon dengan
stimulus. Teknik desensitisasi sistematik dilakukan dengan tiga tahapan:
(1) latihan
santai bagi otot-otot (relaksasi dan/atau hipnosis)
(2) menyusun
tahapan
(3) mengaplikasikan
desensitisasi, yaitu menghilangkan tahapan kecemasan (anxiety) secara
berangsur-angsur sambil melatih respon yang santai.
Prosedur ini berlangsung hingga
enam kali pertemuan. Selama periode santai, pembentukan tahapan (hierarchi)
dimulai, yang tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya sulit.
Pembentukan tahapan kecemasan itu
dilakukan dengan empat cara, yaitu (a) case history klien, (b) angket, (c)
menggunakan fear survey schedule, (d) penelitian yang mendalam secara khusus
tentang berbagai kesulitan yang dihadapinya (Dahlan, 1985:69). Prosedur
desensitisasi sistematik dimulai apabila latihan relaksasi dan pembentukan
tahapan itu dipenuhi.
m. Satiation
Proses memberi reinforcement yang berlebihan sehingga justru kehilangan nilainya
sebagai penguat, atau bahkan kemudia bernilai sebaliknya. Satiation dapat dilakukan dengan membanjiri klien dengan stimulus
yang sama sehingga reinforcement menjadi
tidak bertahap, atau dengan terus menerus memberikan reinforcement sampai respon malahan tidak dilakukan lagi. Teknik
ini sama dengan cara nglulu terhadap
tingkah laku yang tidak dikehendaki.
n. Token
Econimies
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku
apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya
tidak memberikan pengaruh. Dalam teknik ini, tingkah laku yang layak bisa
diperkuat dengan penguat-penguat yang bisa diraba (tanda-tanda seperti voucher)
yang nantinya dapat ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingin.
Teknik ini sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, misalnya
para pekrja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda
sebagai penguat bagi tingkaj laku yang layak memeiliki beberapa keuntungan :
(1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda bisa
mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku yang sesuai dengan
ganjarannya, (3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkrit bagi
motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, (4) tanda-tanda adalah
bentuk penguatan yang positif, (5) individu mempunyai kesempatan untuk memutuskan
bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda
cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan
kehidupan sehari-hari.
o. Forms
of Punishment
Hukuman merupakan intervensi dari
kondisioning-operan yang digunakan oleh konselor behavoral untuk mengurangi
perilaku yang tidak dikehendaki. Teknik ini dilakukan dengan cara pemberian
sesuatu yang tidak menyenangkan atau stimulus yang tidak disukai sebagai akibat
klien bertingkah laku yang tidak dikehendaki. Skiner percaya bahwa hukuman
tersebut sering memberikan pengaruh terhadap perilaku yang dikira tidak
dikehendaki itu; karena itu, perilaku yang tidak dikehendaki dapat dikendalikan
dengan mengurangi kecenderungan respon klien.
p. Self
–Management Programs and Self-Directed Behavior
Dalam program mengelola dan
mengarahkan perilaku diri sendiri ini klien mengambil keputusan tentang hal
yang berhubungan dengan prilaku khusus yang ingin dikendalikan atau diubah.
Contoh yang umum di antaranya ialah mengatur jadwal kegiatan secara disiplin
diri, pengendalian merokok, pengendalian untuk berbicara yang baik-baik dan
tidak menyakiti hati orang lain, mengatur pola makan agar sehat dan tidak
kegemukan. Seringkali klien menemukan bahwa alasan utama dari perilakunya yang tidak
bisa mencapai sasaran adalah tidak dimilikinya keterampilan mengelola dan
mengarahkan diri. Dalam kawasan seperti itulah pendekatan pengarahan sendiri
bisa memberikan garis besar bagaimana bisa didapat perubahan dan sebuah rencana
yang akan membawa ke arah perubahan.
Cormier dan Cormier (1985:520,
dalam Corey 1995:431-432) menyebutkan ada lima ciri dari program pengelolaan
dan pengarahan diri yang efektif, yaitu:
(1)
Kombinasi
dari strategi mengelola diri sendiri biasanya lebih berguna daripada hanya sebuah
strategi tunggal
(2)
Penggunaan
strategi yang konsisten adalah esensial
(3)
Perlu
ditetapkan seperangkat sasaran yang realistis dan kemudian dievaluasi tingkatan
seberapa yang bisa diraih dari sasaran itu
(4)
Penggunaan
penguatan diri sendiri merupakan komponen yang penting dari program mengelola
diri sendiri
(5)
Tunjangan
yang diberikan oleh lingkungan harus ada untuk tetap dipertahankannya perubahan
yang telah terjadi sebagai hasil dari program mengelola diri sendiri.
q. Multimodal
Therapy
Teknik ini dikembangkan oleh Lazarus secara
komprehensif, sistematik dan holistik. Terapi ini adalah suatu sistem yang
terbuka dan mendorong adanya eklektisisme
teknik. Teknik ini tidak dipergunakan secara sembarangan. Para konselor
multimodal selalu bertanya: “Siapa dan apa yang paling baik klien yang satu
ini?” Jadi, para konselor sangat berhati-hati untuk tidak memasukkan klien yang
bersifat unik dalam program penanganan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Melainkan, diusahakan secara cermat untuk menetapkan secara tepat hubungan dan
strategi pengananan apa yang akan berfungsi paling baik terhadap setiap klien
dan dalam keadaan khusus yang bagaimana. Asumsi yang mendasari pendekatan ini
adalah bahwa oleh karena seorang individu mengalami kesulitan yang disebabkan
oleh problema khas yang dihadapi, maka dianggap hal yang tepat kalau strategi
penanganan ganda digunakan untuk mendapatkan perubahan. Konselor multimodal
terus menerus menyesuaikan prosedurnya untuk bisa mencapai sasaran klien dalam
konseling.
Dari penjelasan
tentang berbagai teknik di atas, kita pahami bahwa terapi konseling kelompok
perilaku sangat kaya dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Konselor dapat
memilih teknik sesuai dengan masalah dan keterampilan dirinya.
6.
Peranan
Konselor Dalam Konseling Kelompok Pendekatan Perilaku
Para behavioris dalam beberapa hal berfungsi seperti
ahli klinis yang lain, mereka menaruh perhatian dari petunjuk klien serta ada
kemauan untuk mengikuti intuisi klinis mereka. Mereka menggunakan teknik
rangkuman, refleksi, penjelasan, pertanyaan berakhir dengan terbuka. Tetapi ada
dua fungsi yang membedakan pelaku klinis behavioral : mereka memfokuskan pada
hal-hal yang khas, dan secara sistematis berusaha untuk mendapatkan informasi
tentang anteseden situasional, dimensi dari perilaku bermasalah, dan
konsekuensi dari masalah itu ( Goldfried dan Davison dalam Mulyarto, 1995 :
419)
Sementara itu Rosjidan (1994 : 20) mengemukakan bahwa
para konselor behavioral harus mengasumsikan adanya peranan aktif, direktif
dalam treatment, karena mereka menerapkan pengetahuan ilmiah pada penemuan
solusi-solusi pada permasalahan yang dihadapi manusia. Konselor behavioral
secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosa
tingkah laku yang tidak tepat dan dalam menentukan prosedur-prosedur yang
diharapkan, mengarah pada tingkah laku baru dan lebih baik.
Fungsi penting lain adalah
peran modeling konselor untuk klien. Bandura (dalam Rosjidan 1994 :20 )
menunjukkan bahwa sebagian besar belajar yang terjadi melalui pengalaman langsung dapat juga diperoleh melalui
pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Dia menambahkan bahwa salah satu
dari proses-proses yang mendasar dimana klien mempelajari tingkah laku baru
adalah melalui peniruan, atau modeling sosial yang diberikan oleh konselor.
Konselor sebagai seorang individu menjadi role model yang penting. Karena klien
sering memandang konsleor sebagai worthy
emulation, maka klien meniru sikap-sikap, nilai-nilai kepercayaan, dan
tingkah laku konselor. Dengan demikian, konselor harus sadar tentang peran
penting yang mereka mainkan dalam proses pengidentifikasian. Bagi konselor yang
tidak menyadari kekuatan yang mereka miliki dalam mempengaruhi dan membentuk
cara berfikir dan bertingkah laku klien, membuat mereka mengingkari pentingnya
kepribadian mereka sendiri dalam proses terapetik. Bagi konselor, peran dan
fungsi yang paling berat adalah menjadi model bagi klien.
7.
Kritik
Terhadap Pendekatan Perilaku Dalam Konseling Kelompok di Sekolah
Corey
(1986:199-201; 1995:443-446) mengemukakan adanya lima kritikan yang umum dan
konsepsi yang keliru yang sering dilakukan seseorang mengenai terapi perilaku.
Kritikan
pertama : terapi perilaku mungkin mengubah perilaku, tetapi tidak mengubah
perasaan. Para praktisi behavioral biasanya berpendapat bahwa
apabila klien bisa mengubah perilaku mereka, ada kemungkinan mereka juga akan
mengubah perasaannya. Mereka berpendapat bahwa bukti empiris tidak menciptakan
kritik bahwa perasaan haruslah lebih dahulu diubah. Meskipun mereka tidak
mengutamakan pemfokusan pada perasaan, dalam praktik yang sebenarnya para
praktisi memang berurusan dengan perasaan sebagai bagian keseluruhan dari
proses konseling behavioral.
Kritikan
kedua : terapi perilaku mengabaikan faktor rasional yang penting dalam terapi.
Kritikan ini sering dilakukan dengan mengatakan bahwa dalam pendekatan perilaku
pentingnya hubungan antara klien dan konselor dikurangi. Meskipun kelihatannya
benar bahwa konselor behavioral tidak mengutamakan variabel hubungan, ini tidak
berarti bahwa pendekatan ini terpaku pada tingkat pemfungsian yang mekanis dan
tidak humanistik. Seperti yang telah kita lihat, konselor behavioral
berkeyakinan bahwa hubungan kerja yang baik dengan klien merupakan landasan
dasar yang harus ada agar penggunaan teknik bisa menjadi efektif. Hal ini
ditegaskan oleh Lazarus dan Fay (1984), “Hubungan konselor dengan klien adalah
tanah tempat teknik itu bisa menancapkan akarnya.”
Kritikan
ketiga : terapi perilaku tidak menyediakan pemahaman. Apabila
kritikan ini memang benar, para teoretisi modifikasi perilaku mungkin akan
memberikan tanggapannya bahwa pemahaman sebenarnya tidaklah perlu. Mereka akan
mengatakan bahwa mereka tidak memfokuskan pada pemahaman oleh karena tidak
adanya bukti yang jelas bahwa pemahaman tidak menimbulkan krisis pada hasil
akhir dari suatu konseling perilaku. Perilaku itu diubah secara langsung.
Apabila sasaran untuk mendapatkan pemahaman merupakan perubahan akhir dari
perilaku, maka terapi perilaku, yang telah membuktikan hasil, memiliki efek
yang sama. Lebih-lebih lagi perubahan perilaku seringkali akan membawa
perubahan dalam pemahaman; ini merupakan jalan jalur ganda. Namun, banyak orang
yang ingin tidak hanya mengubah perilaku tetapi juga mendapatkan pemahaman
mengapa mereka berperilaku seperti yang ia lakukan.
Kritikan
keempat : terapi perilaku
mengabaikan penyebab historis dari perilaku yang ada sekarang. Hubungan
antara penyebab historis dengan perilaku yang ada sekarang adalah asumsi
psikoanalitik yang cenderung deterministik. Para konselor perilaku mungkin
mengakui bahwa tanggapan yang menyimpang dari kebiasaan umum ada akar
historisnya, tetapi mereka berpendapat bahwa sejarah jarang menjadi faktor yang
penting untuk mempertahankan masalah yang ada sekarang. Jadi, pendekatan
perilaku memfokuskan pada pemberian kesempatan kepada klien untuk mempelajari
hal-hal baru yang dibutuhkan secara efektif untuk menangani perilakunya yang
bermasalah.
Kritikan
kelima : terapi perilaku menyangkut pula kontrol dan manipulasi dari konselor. Orang sering mengatakan kecemasannya tentang
kekuasan para konselor perilaku untuk melakukan kontrol terhadap perilaku
klien. Beberapa orang merasa kahawatir akan kekuasaan konselor perilaku untuk
membentuk dan mengarahkan nilai, dan perilaku klien. Konselor perilaku sering
dikritik telah merampas kebebasan serta otonomi perilaku klien. Spiegler (1983)
menanggapi kritikan ini dengan mengemukakan dalih bahwa setelah konseling
perilaku yang berhasil, maka klien bisa meningkatkan jumlah alternatif dan
menambah cara berperilaku daripada sebelum konseling. Pada akhirnya, klien
menentukan sendiri perilaku mana yang dikehendaki dan mana yang tidak
dikehendaki, dan oleh karenanya klien memiliki kebebasan dan otonomi dalam
menentukan perilaku yang akan dilakukannya.
Daftar Pustaka
Corey,
G. (1986). Theory and Practice of
Counseling and Psychotherapy. 3rd Edition. Monterey California:
Brooks/Cole Publishing Company.
--------.
(1995). Teori dan Praktik dari Konseling
dan Psikoterapi. Cetakan pertama. Terjemahan Mulyarto. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Dahlan,
M.D. (1985). Beberapa Pendekatan Dalam
Penyuluhan (Konseling). Bandung: Diponegoro.
Gladding,
S.T. (1995). Group Work: A Counseling
Specialty. 2nd Edition. Englewood Cliffs, Nem Jersey: Prentice
Hall
Gunarsa,
S.D. (1992). Konseling dan Psikoterapi.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
John,
R.N. (1995). The Theory and Practice of
Counseling. London: Cassell.
Koswara,
E. (1991). Teori-teori Kepribadian.
Bandung: Eresco.
Natawidjaja,
R. (1987). Pendekatan-pendekatan Dalam
Penyuluhan Kelompok I. Bandung: Diponegoro.
Prayitno.
(1995). Layanan Bimbingan dan Konseling
Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reilly,
R.R. & Lewis, E.R. (1983). Educational
Psychology, Application for Classroom Learning and Instruction. New York:
Macmillan Publishing Co. Inc.
Rosyidan.
Ed. (1994). Pendekatan-pendekatan Modern
Dalam Konseling. Malang: Jurusan PPB FIP IKIP Malang.
Ulmann,
L.P. & Krasner, L. Ed. (1965). Case
Studies in Behavior Modification. New York: Holt, Reinhart and Winston,
Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar